Nasib Pak Budi

 

Nama saya Budi., SPd, seorang guru honorer yang mengajar di lima sekolah sekaligus. Senin pagi di MTs, siang di MA. Selasa-Rabu di sebuah SMP swasta, Kamis-Jumat di sebuah SD dimana saya bersekolah dahulu, dan jadwal hari Sabtu sama dengan hari senin, kemudian di hari minggu saya mengajar di Mts lainnya. Umur saya dua empat, istri satu, baru tujuh bulan yang lalu kami menikah dan kini empat bulan ia mulai mengandung. Ya, sebuah sinyal akan bertambahnya beban kehidupan.
Saya baru diwisuda beberapa bulan yang lalu, sarjana pendidikan di sebuah sekolah tinggi ilmu keguruan swasta. Saya lulus tepat waktu dengan nilai yang cukup baik, tentu karena saya dekat dengan dosen-dosen saya dahulu. Seperti kebanyakan mahasiswa lain di kampus saya dahulu, tak sekalipun saya ikut organisasi-organisasi yang ada di dalam maupun luar kampus. Hidup saya sudah repot, tak perlu ditambah repot dengan kegiatan macam begituan.
Saat itu yang ada dipikiran saya adalah lulus secepat mungkin, kemudian kawin, dan menjadi seorang guru, sederhana, bukan? Dahulu sekali tak sekalipun terlintas dibenak saya hendak menjadi guru. Namun belakangan, melihat kenyataan guru-guru hanya membacakan buku pelajaran, memberi tugas, dan memberi nilai. Melihat sederhananya pekerjaan menjadi guru, juga gaji, tunjangan, dan uang sertifikasi yang amat menggiurkan, Berduyun-duyunlah saya ikuti jejak orang masuk ke sekolah tinggi keguruan. Sejak itu pula saya memiliki tekat untuk menjadi seorang guru, agar bisa hidup dengan lebih nyaman.
Tetapi waktu mengkhianati saya, kenyataan menampar-nampar saya hingga tersadar untuk hidup nyaman dengan manjadi seorang guru tidak semudah menyalin skripsi senior dahulu. Sejak semester lima saya mulai mengajar dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Saya memegang banyak mata pelajaran di sekolah-sekolah saya. Biologi, Fisika, PKN, Agama, Ekonomi dan Kimia, tak peduli saat kuliah saya mengambil jurusan Matematika.
Keadaan yang mendesak memaksa saya untuk keluar dari bidang saya. Lagi pula saya mengajar di sekolah-sekolah yayasan, sekolah pinggiran yang murid-muridnya tak akan menyadari kesalahan-kesalahan saya saat proses belajar mengajar, jadi saya bisa sedikit tenang untuk saat ini.
Paling-paling saya hanya akan membaca semua keterangan yang telah tertulis dalam buku kepada siswa-siswa saya, jika ada pertanyaan saya jawab sekenanya. Persetan benar atau tidak, asal muka selamat, tak malu di depan anak-anak didik. Setelah itu saya Cuma tinggal kasih mereka tugas, dan pekerjaan selesai. Cukup sederhana, bukan?
Tetapi, ya begitu. Serajin-rajinnya saya mengajar. Tujuh hari dalam seminggu, dalam sebulannya hanya berpenghasilan tak lebih dari tiga ratus puluh ribu rupiah. Di zaman yang serba uang ini, apa-apa uang, sedikit-sedikit uang. Enam ratus tujuh puluh ribu, bisa untuk apa? Untuk makan sebulan pun kurang.
Kalau keadaan terus-terusan begini, kapan saya bisa belikan kalung untuk istri tercinta? Dia pun kini sudah empat bulan mengandung. Nanti harus saya bayar dengan apa biaya persalinannya kelak? Belum lagi kalau dia mengidam, dengan apa harus saya beli keinginan-keinginannya seperti mangga, apel, anggur, dan manggis? Semua itu juga butuh uang, bukan?
Semakin kemari semakin saya sadar kalau mimpi saya makin pudar. Ingin hidup enak menjadi seorang guru dengan gaji tetap, tunjangan dan sertifikasi nyatanya harus menjadi PNS terlebih dahulu. Nasib saya sebagai guru muda. Bergaji tak sampai tiga ratus ribu rupiah.
Saya harus memutar otak ekstra keras kalau sudah begini. Berpikir lebih keras agar pemasukan bertambah lagi. Apapun caranya, les privat barangkali, atau menjual LKS, buku paket atau lembaran soal-soal. Ah iya, barangkali itu bisa membantu perekonomian keluarga saya.
Pusing saya menghadapi persoalan hidup. Menjadi guru honorer seperti ini tersiksa betul rasanya. Ingin sekali cepat-cepat menajadi PNS. Biar gaji selalu tetap, tunjangan diberikan, dan sertifikasi, gaji-gaji yang dilipat gandakan.
Tuhan, cepat angkat saya jadi PNS. Biar naik derajat sosial saya. Biar nyaman hidup terasa. Tuhan, sungguh jangan persulit pengangkatan saya Tuhan. Aamiin.

Mengenang seseorang di Kos yang sepi
 

Post a Comment

0 Comments