Menaksir Utang



Ternyata benar, menjalani hidup rupanya tak semudah membalik telapak tangan. Setidaknya, semakin dewasa saya mulai memahami betapa hidup penuh dengan drama, romantika, tragedi, dan lelucon. Lebih-lebih hidup di Indonesia negeri yang, ah entah saya sulit menjelaskannya. Intinya, di negeri ini minat akan komedi begitu tinggi. Semua penduduk mulai dari tukang becak sampai presidennya sekalipun, senang melempar humor-humor yang menggelikan.


Tidak hanya humor berbentuk verbal. Humor yang non verbal mulai dari lelucon orang susah makan yang memaksakan diri beli tuak, sampai humor yang agak serius masalah statement politik para pembesar negeri yang sering plin-plan. Rasanya cukup untuk melupakan segunung utang yang ditanggung setiap penduduk negeri semenjak masih berada di kandungan.

Sebagai salah satu rakyat negeri ini, saya pun berlaku demikian. Saya lebih senang ngopi sambil ngobrol masalah utang negara yang tak lunas, pencitraan tokoh publik dan mahasiswa yang sok kritis bersama kawan sambil tertawa-tiwi dari pada menempelkan koyo di kepala lantaran pusing memikirkan tanggungan dan utang-utang saya. Saya termotivasi dan lebih senang keluar rumah mencari hiburan untuk melupakan ruwetnya masalah yang mulai terasa disaat beranjak dewasa.

Tetapi seperti yang saya tulis diawal tadi. Ternyata hidup tak semudah membalikkan telapak tangan. Nyatanya ngopi sambil mengobrol panjang lebar di warung tak menyelesaikan masalah utang yang ada. Malah, saldo utang yang tercatat atas nama saya rupanya samakin bertambah. Sungguh, terkutuklah mereka yang memberi motivasi kepada saya dengan berkata;

Jika kamu memiliki banyak beban dan masalah, carilah pelampiasan. Jangan terlalu dipikirkan beban dan tanggunganmu. Buatlah hidup ini semudah mungkin. Bikin saja happy. Uuuu yeaaaaah.

Maha benar Allah dengan segala firmanNya. Semoga mereka yang masih menganut motivasi diatas bisa mendapat hidayah dari Tuhan yang maha esa. Tercerahkan kembali hidupnya dan dikembalikan ke jalan yang lurus, jalan yang diridhoi Tuhan.

Sebab ada pepatah lama yang menagatakan badai pasti berlalu, bukan? masalah pasti ada, tetapi bukankah hidup berjalan seimbang. Setiap ada kesukaran pasti ada kemudahan. Setiap terbit utang, pasti akan ada jalan untuk  melunasinya. Ya, asal berusaha saja.

Sekarang, mari berpikir realistis saja. Masalah jika tidak segera ditangani kapan akan selesai. Begitu juga utang, jika utang tidak segera dilunasi bagaimana mungkin utang tersebut akan habis. Masalahnya sekarang adalah mau atau tidaknya untuk berusaha. Berusaha, bekerja, dan menjauhi sifat berfoya-foya.

Mencari kegembiraan diluar boleh-boleh saja. Tetapi jika senang-senang terus kapan utang mau dibayar, kapan masalah bisa selesai. Ngopi tanpa bekerja mana bisa menurunkan uang dari langit ke saku untuk melunasi utang.

Jika yang ada didalam pikiran hanya ingin senang melulu dan tak mau memikirkan tanggungan, kewajiban dan beban yang disandangnya. Jika masalah yang ada selalu ditunda-tunda penyelesaiannya. Bukannya yang demikian sama saja lari dari masalah, padahal hakikatnya masalah itu untuk dihadapi agar selesai secepatnya, bukan malah ditinggal lari.

Hah repotnya menjalani hidup. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan filsuf Yunani itu, Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Tetapi jika sudah terlanjur lahir dan hidup, nasib terbaik yang masih bisa diharapkan selanjutnya adalah mati muda. Yang pertama agar tidak terlalu lama menjalani masalah yang mencerca saat hidup. Kemudian mati muda juga baik agar tidak terlalu banyak menambah dosa.

Ya Tuhan, dihitung-hitung utang hamba mulai menumpuk.

Allah yang maha tahu
Di kamar, Blega, Las Vegas Bangkalan
Sambil puasa ditengah hari yang panas  dan godaan begitu banyaknya
19 Juni

Post a Comment

0 Comments