
Aku penyair miskin
tetapi kekasihku cinta
-Wijhi
Tukul
I
Sembari
menunggu waktu
ku timang kabar
rembulan.
Masihkah hilang
separuh sinarnya
atau sudah
terganti, genap bulat kembali?
Ah, Yus..
Lebih baik kita
berdansa,
atau menyanyi,
atau apa saja
asal kamu dan
aku tetap menjadi kita.
Sebab kita tahu
sebelum tengah
malam berdenting
dan Cinderella
pergi meninggalkan pangerannya,
kamu dan aku
mesti menikmati sunyi;
Kita mesti
berdua sejenak,
kita butuh
keheningan yang dalam
kemudian ‘kan
ku bisikkan padamu:
selamat ulang
tahun, cinta.
II
Bekas gincumu
di pipiku sudah tersabun
setelah senyum
terakhir dan kapal berlayar membawamu
terbesitlah
sebuah harap dalam dada;
lekaslah pulang
kemari.
Semenjak itu ku
hitung hari yang berjalan
kian lambat
terasa dan bayang-bayang tanpa wajah
seperti memaku
jalannya waktu. Aku bertanya,
mengapa
matahari begitu lama berotasi?
Rindu memang
kurang ajar. Jarakmu
Jarakku.
Madura-Jombang kadang menyirat prasangka.
III
Mentari menua
di cakrawala Blega
Apa kabar kamu
di Jombang?
Disini, penuh
rindu padamu
IV
Sudah, jangan
didengar apa yang tak baik
Jika daun yang
gugur saja bisa tabah
Mengapa hati
kita tidak demikian?
Masa lalu
adalah bayang-bayang terlampaui
Waktu yang
terlewat yang tinggal puing belaka
Maka, mengapa
mesti curiga?
V
Ada yang
menantimu disudut malam yang sepi
Bulan sembunyi,
hujan pun reda
Cuma dingin
angin mengingatkan tanya;
Apa kabar
dirimu?
Malam menganga
jadi kerongkongan raksasa
Diantara
gulita, rindu mengendap-endap
Hati-hati
bersijingkat, meniti perlahan
Bagai jalan ruh
dilembah kesunyian
tik… tok… tik… tok…
Denting arloji
merobek sunyi
Jam berapa
sekarang?
Kutegur
rerumputan tanpa salam
Sambil
berbisik, ku harap angin berhembus jauh
Membawa nafas
dan harapku padamu:
Cepatlah
kembali
VI
Sebagai lancing Madura
Bagaimana
mungkin aku relakan kamu
Perawanku
dibawa dan disentuh orang?
Rasanya benar
kata Kakek dahulu:
Angok pote matah tembheng pote tolang
Disini wajahku,
jangan diinjak
Atau mataku
gelap, tanganku menggigil
Jika terus
begitu siapa yang harus disalahkan;
Aku, atau
darahnya yang mengotori tanah?
VII
Yuseva…
Mari ku ajak
kau pulang ke kampungku
Disana masih
cukup teduh untuk kita berdua
Bermesraan
dibawah pohon-pohon nangka
Nanti, akan ku
ceritakan
Bagaimana ular
sanca sebesar gentong
Berjalan,
menangis tersedu mengitari kampung
Dahulu kala
dalam dongengan nenekku silam
Yus, nanti kamu
tahu sendiri
Bagaimana
dahulu semasa kanak
Bumi bagiku
hanyalah sepetak taman bermain
Tempat mengejar
layang-layang atau besijingkat penuh tawa
Di kampungku,
kita akan melihat
Bagaimana angin
menari membelai daun sirsak
Dan
jagung-jagung Madura yang mulai berkumis
Serta mendaki
pegunungan yang tak seberapa landai itu
Yus..
Mari ke kamari,
Katamu kau
ingin tahu tanah tempat lahirku
Katamu kau
ingin tahu keluarga-keluagaku?
VIII
Yuseva yang
putih hati,
Jika lelah
hidupmu di Telang
Sebab
sistematika kampus yang konyol
Dan tugas
memburumu kesegala penjuru
Maka kemarilah,
ikuti aku melangkah di pesisir pantai
Lelahmu lelahku,
kita benam besama gelombang
Sehingga angin
‘kan jauh membawanya pergi
Seperti yang
kita lakukan saat awal berkencan dulu
Lihat,
kapal-kapal berlabuh dan bertolak
Jalasveva jayamahe
IX
Sia-sia kau
mencari arti keadilan di negeri ini.
Keadilan hanyalah
topik yang tak habis dibahas
dalam forum
diskusi mahasiswa. Larut berlarut
sampai harapan
menjelma jadi mimpi yang kosong
yus, kemari
saja. Tenang disampingku
kamu harus tahu
ini;
Keadilan cuma
teori!
X
Selepas hujan
reda malam itu
angin menderu,
semakin dingin
semakin hangat cinta terbina
semakin besar
pula kemungkinan-kemungkinan.
Dan masa silam
adalah dengung tak kentara
Bukit terjal
diantara jurang prasangka
Yang menjorok
menjadi teluk-teluk gelisah
Mendebur
gelombang menuju laut tak beriak
Maka, rekatkan
terus talimu pada jiwaku
Agar titian
langkah kita tak tersandung kerilkil duri
Agar mimpi tak
menjadi bianglala belaka
Yang indah
namun hilang saat dikejar
Mari, sayangku
Ini, tanganku.
Genggamlah!
XI
Ku berikan
kepadamu sebuah senja
Yang sederhana,
kuning kemerah-merahan
Dengan matahari
yang mengantuk
Awan serta bias
cahaya yang menjulang
Awas jangan
sampai kamu jatuh hati
Sebab telah ku
hamparkan untuk kamu
Sebidang pantai
dengan pasir putih,
Laut biru, dan
debur ombak yang berkejaran
Di pantai itu
kamu ‘kan lihat layar-layar berkembang
Jaring yang
dihampar , kembang laut, dan lokan-lokan
Datanglah
kemari saat senja di hari yang kamu suka
Datanglah
dengan senyum semanis tebu musim kemarau
Senja, mentari,
pasir pantai dan bunyi deburan ombak
Menanti kamu
disini, bersamaku
XII
Mungkin riak
ombak bisa tahu
Apa yang sudah
dibisikkan lumba-lumba
Kepada paus,
hiu, dan ikan-ikan laut
Ketika bulan
mengambang di atas samudra
Mungkin semilir
angin bisa menjelaskan pada kita
Bagaimana
gunung menanggung sepi
Dan larik puisi
yang Pungguk kidungkan
Ketika rembulan
terang bersinar
Matahari,
bulan, dan bintang di cakrawala
Siapa tahu apa
yang terjadi di atas langit?
Suara alam
adalah rahasia paling musykil
Sementara hati
wanita adalah lautan misteri
Perempuanku,
berterus teranglah karenanya
XIII
Kalau negeri
sudah runyam penuh liku
masalah tiada
henti dan badai datang silih berganti.
Maka Cuma
senyummu, kekasih
tempat berteduh
paling pas buatku.
Kalau dunia
semakin sesak, semakin kotor
lantaran polusi
mencemari segalanya.
Maka hanya
matamu, bening kemilau
yang ku harap
bisa menjernihkan hatiku.
Kalau seluruh
umat manusia sakit
karena zaman
membuatnya gila.
Maka aku butuh
kamu, melati putihku
yang tak gugur
karena hujan, tak layu karena panas menerjang.
XIV
Senjakala
menggurat kenang
di pelabuhan;
tempat kita menyisihkan waktu
berdua membunuh
sepi dan mengurai jenuh
tanpa tahu,
apakah waktu berhenti atau terus berlari?
Kamu cuma tahu
aku, begitupun
aku yang hanya
tahu satu hal saja;
kau cantik hari
ini, dengan kerudung
warna rembulan
dan bibir yang lembab merah jambu.
Jangan tatap
aku begitu, katamu
kau malu dan
aku semakin suka kau yang seperti itu.
XV
Denting gitar
yang mengalun sore itu
Adalah nyanyian
ilalang yang mengakar
Jauh di dalam
sunyinya sukma. Kekasih,
Coba sekali
lagi kau dengar lagu jiwaku
Bukankah masih
semerdu dahulu.
Dimana kita
saling bersapa pada suatu sore
Di jejeran
bangku-bangku kayu
Dimana
kutautkan mataku pada matamu. Lama sekali
Itulah dia, aku
masih yang dulu
Dan cinta pada
pandang pertama
Ternyata benar
adanya
Nyata adanya!
XVI
Kejora!
Kejora matamu
jangan redup
Jadilah lentera
dalam bias gelap malam
Dan teruslah
begitu, teruslah indah bersinar
Kejora !
Kejora dimatamu
Jalan setapak
menuju angkasa
Dan matamu,
teruslah memata-matai mataku.
XVII
Sayang, mari
berhitung denganku
Sepuluh jarimu
dapatkah menggenapi dua belas rasi bintang?
Tidak, rasanya.
Dua belas
bintang mana cukup
Jika hanya
dihitung sepuh jari tanganmu.
Kau butuh dua
kemilau lagi:
Dua matamu,
kemilau bintang lainnya.
XVIII
Hujan dimatamu
membias bianglala
Melengkung
penuh warna dan berkemilau
Seolah
mengajakku masuk kedalamnya
‘tuk menyelam
mengarungi bening kornea itu
Seribu tahun
kesunyian dimatamu
Sepi dan
kosong, kekasih
Biar aku masuk
kedalam matamu
Dengan cinta,
dengan sejuta warna kedalamnya
XIX
Sepasang
matamukah yang mengintai dalam dadaku
Debu yang
mengepul, embun dan segala yang menggelora
Harum melati,
rambutmu yang sewangi sedap malam
Datang padaku
seperti Jibril mendatangi nabi-nabi dalam mimpinya
Inikah cinta
yang kau kirim padaku?
Betapapun, kamu
adalah paramesywari dalam setiap kehidupanku
Kamulah yang
menjelma Ratu Saba saat aku dalam tubuh Sulaiman
Kamulah Kencana
wungu yang kusunting saat aku hidup di masa Vilvatika
Pintu terbuka,
siapa mengtuk?
Siapa kamu?
Sebagaimana aku
Kita adalah
satu.
Diselesaikan setelah hujan reda
Dengan rindu tanpa kafein dan tembakau
Peluk kecup
Blega, 22 April 2017
0 Comments