19 Puisi, Kado Cinta Buat Pacarku


Hasil gambar untuk kartun ulang tahun


Aku penyair miskin
tetapi kekasihku cinta
                                            -Wijhi Tukul

I
Sembari menunggu waktu
ku timang kabar rembulan.
Masihkah hilang separuh sinarnya
atau sudah terganti, genap bulat kembali?

Ah, Yus..
Lebih baik kita berdansa,
atau menyanyi, atau apa saja
asal kamu dan aku tetap menjadi kita.

Sebab kita tahu
sebelum tengah malam berdenting
dan Cinderella pergi meninggalkan pangerannya,
kamu dan aku mesti menikmati sunyi;

Kita mesti berdua sejenak,
kita butuh keheningan yang dalam
kemudian ‘kan ku bisikkan padamu:
selamat ulang tahun, cinta.

II
Bekas gincumu di pipiku sudah tersabun
setelah senyum terakhir dan kapal berlayar membawamu
terbesitlah sebuah harap dalam dada;
lekaslah pulang kemari.

Semenjak itu ku hitung hari yang berjalan
kian lambat terasa dan bayang-bayang tanpa wajah
seperti memaku jalannya waktu. Aku bertanya,
mengapa matahari begitu lama berotasi?

Rindu memang kurang ajar. Jarakmu
Jarakku. Madura-Jombang kadang menyirat prasangka.

III
Mentari menua di cakrawala Blega
Apa kabar kamu di Jombang?

Disini, penuh rindu padamu

IV
Sudah, jangan didengar apa yang tak baik
Jika daun yang gugur saja bisa tabah
Mengapa hati kita tidak demikian?

Masa lalu adalah bayang-bayang terlampaui
Waktu yang terlewat yang tinggal puing belaka
Maka, mengapa mesti curiga?

V
Ada yang menantimu disudut malam yang sepi
Bulan sembunyi, hujan pun reda
Cuma dingin angin mengingatkan tanya;
Apa kabar dirimu?

Malam menganga jadi kerongkongan raksasa
Diantara gulita, rindu mengendap-endap
Hati-hati bersijingkat, meniti perlahan
Bagai jalan ruh dilembah kesunyian

tik… tok… tik… tok…

Denting arloji merobek sunyi
Jam berapa sekarang?

Kutegur rerumputan tanpa salam
Sambil berbisik, ku harap angin berhembus jauh
Membawa nafas dan harapku padamu:
Cepatlah kembali

VI
Sebagai lancing Madura
Bagaimana mungkin aku relakan kamu
Perawanku dibawa dan disentuh orang?
Rasanya benar kata Kakek dahulu:

Angok pote matah tembheng pote tolang

Disini wajahku, jangan diinjak
Atau mataku gelap, tanganku menggigil
Jika terus begitu siapa yang harus disalahkan;
Aku, atau darahnya yang mengotori tanah?

VII
Yuseva…
Mari ku ajak kau pulang ke kampungku
Disana masih cukup teduh untuk kita berdua
Bermesraan dibawah pohon-pohon nangka

Nanti, akan ku ceritakan
Bagaimana ular sanca sebesar gentong
Berjalan, menangis tersedu mengitari kampung
Dahulu kala dalam dongengan nenekku silam

Yus, nanti kamu tahu sendiri
Bagaimana dahulu semasa kanak
Bumi bagiku hanyalah sepetak taman bermain
Tempat mengejar layang-layang atau besijingkat penuh tawa

Di kampungku, kita akan melihat
Bagaimana angin menari membelai daun sirsak
Dan jagung-jagung Madura yang mulai berkumis
Serta mendaki pegunungan yang tak seberapa landai itu

Yus..
Mari ke kamari,
Katamu kau ingin tahu tanah tempat lahirku
Katamu kau ingin tahu keluarga-keluagaku?

VIII
Yuseva yang putih hati,
Jika lelah hidupmu di Telang
Sebab sistematika kampus yang konyol
Dan tugas memburumu kesegala penjuru

Maka kemarilah, ikuti aku melangkah di pesisir pantai
Lelahmu lelahku, kita benam besama gelombang
Sehingga angin ‘kan jauh membawanya pergi
Seperti yang kita lakukan saat awal  berkencan dulu

Lihat, kapal-kapal  berlabuh dan bertolak
Jalasveva jayamahe

IX
Sia-sia kau mencari arti keadilan di negeri ini.
Keadilan hanyalah topik yang tak habis dibahas
dalam forum diskusi mahasiswa. Larut berlarut
sampai harapan menjelma jadi mimpi yang kosong

yus, kemari saja. Tenang disampingku
kamu harus tahu ini;
Keadilan cuma teori!

X
Selepas hujan reda malam itu
angin menderu, semakin dingin
semakin  hangat cinta terbina
semakin besar pula kemungkinan-kemungkinan.

Dan masa silam adalah dengung tak kentara
Bukit terjal diantara jurang prasangka
Yang menjorok menjadi teluk-teluk gelisah
Mendebur gelombang menuju laut tak beriak

Maka, rekatkan terus talimu pada jiwaku
Agar titian langkah kita tak tersandung kerilkil duri
Agar mimpi tak menjadi bianglala belaka
Yang indah namun hilang saat dikejar

Mari, sayangku
Ini, tanganku. Genggamlah!

XI
Ku berikan kepadamu sebuah senja
Yang sederhana, kuning kemerah-merahan
Dengan matahari yang mengantuk
Awan serta bias cahaya yang menjulang

Awas jangan sampai kamu jatuh hati
Sebab telah ku hamparkan untuk kamu
Sebidang pantai dengan pasir putih,
Laut biru, dan debur ombak yang berkejaran

Di pantai itu kamu ‘kan lihat layar-layar berkembang
Jaring yang dihampar , kembang laut, dan lokan-lokan

Datanglah kemari saat senja di hari yang kamu suka
Datanglah dengan senyum semanis tebu musim kemarau
Senja, mentari, pasir pantai dan bunyi deburan ombak
Menanti kamu disini, bersamaku

XII
Mungkin riak ombak bisa tahu
Apa yang sudah dibisikkan lumba-lumba
Kepada paus, hiu, dan ikan-ikan laut
Ketika bulan mengambang di atas samudra

Mungkin semilir angin bisa menjelaskan pada kita
Bagaimana gunung menanggung sepi
Dan larik puisi yang Pungguk kidungkan
Ketika rembulan terang bersinar

Matahari, bulan, dan bintang di cakrawala
Siapa tahu apa yang terjadi di atas langit?
Suara alam adalah rahasia paling musykil
Sementara hati wanita adalah lautan misteri

Perempuanku, berterus teranglah karenanya

XIII
Kalau negeri sudah runyam penuh liku
masalah tiada henti dan badai datang silih berganti.
Maka Cuma senyummu, kekasih
tempat berteduh paling pas buatku.

Kalau dunia semakin sesak, semakin kotor
lantaran polusi mencemari segalanya.
Maka hanya matamu, bening kemilau
yang ku harap bisa menjernihkan hatiku.

Kalau seluruh umat manusia sakit
karena zaman membuatnya gila.
Maka aku butuh kamu, melati putihku
yang tak gugur karena hujan, tak layu karena panas menerjang.

XIV
Senjakala menggurat kenang
di pelabuhan; tempat kita menyisihkan waktu
berdua membunuh sepi dan mengurai jenuh
tanpa tahu, apakah waktu berhenti atau terus berlari?

Kamu cuma tahu aku, begitupun
aku yang hanya tahu satu hal saja;
kau cantik hari ini, dengan kerudung
warna rembulan dan bibir yang lembab merah jambu.

Jangan tatap aku begitu, katamu
kau malu dan aku semakin suka kau yang seperti itu.

XV
Denting gitar yang mengalun sore itu
Adalah nyanyian ilalang yang mengakar
Jauh di dalam sunyinya sukma. Kekasih,
Coba sekali lagi kau dengar lagu jiwaku

Bukankah masih semerdu dahulu.
Dimana kita saling bersapa pada suatu sore
Di jejeran bangku-bangku kayu
Dimana kutautkan mataku pada matamu. Lama sekali

Itulah dia, aku masih yang dulu
Dan cinta pada pandang pertama
Ternyata benar adanya
Nyata adanya!

XVI
Kejora!
Kejora matamu jangan redup
Jadilah lentera dalam bias gelap malam
Dan teruslah begitu, teruslah indah bersinar

Kejora !
Kejora dimatamu
Jalan setapak menuju angkasa
Dan matamu, teruslah memata-matai mataku.

XVII
Sayang, mari berhitung denganku
Sepuluh jarimu dapatkah menggenapi dua belas rasi bintang?

Tidak, rasanya.
Dua belas bintang mana cukup
Jika hanya dihitung sepuh jari tanganmu.
Kau butuh dua kemilau lagi:

Dua matamu, kemilau bintang lainnya.

XVIII
Hujan dimatamu membias bianglala
Melengkung penuh warna dan berkemilau
Seolah mengajakku masuk kedalamnya
‘tuk menyelam mengarungi bening kornea itu

Seribu tahun kesunyian dimatamu
Sepi dan kosong, kekasih
Biar aku masuk kedalam matamu
Dengan cinta, dengan sejuta warna kedalamnya

XIX
Sepasang matamukah yang mengintai dalam dadaku
Debu yang mengepul, embun dan segala yang menggelora
Harum melati, rambutmu yang sewangi sedap malam
Datang padaku seperti Jibril mendatangi nabi-nabi dalam mimpinya

Inikah cinta yang kau kirim padaku?
Betapapun, kamu adalah paramesywari dalam setiap kehidupanku
Kamulah yang menjelma Ratu Saba saat aku dalam tubuh Sulaiman
Kamulah Kencana wungu yang kusunting saat aku hidup di masa Vilvatika

Pintu terbuka, siapa mengtuk?
Siapa kamu? Sebagaimana aku
Kita adalah satu.

Diselesaikan setelah hujan reda
Dengan rindu tanpa kafein dan tembakau
Peluk kecup
Blega, 22 April 2017

Post a Comment

0 Comments