Menguak Wajah Lain Bangsa Kita




Bicara tentang Indonesia, tentunya bicara tentang pancasila dan Bhineka Tunggal Ika­-nya. Sebab kita mengerti bahwasannya suku bangsa didalam negeri ini beragam jumlahnya. Bicara tentang Indonesia, tentunya yang terlintas dalam benak sebagian besar masyarakat dunia adalah panas, keringat, gatal, dan, ketombe masyarakatnya yang murah senyum, ramah dan penuh kehangatan. Karena hal-hal itulah yang setengah mati coba dipertahankan masyarakat disini sebagai image dan jati dirinya.

Karena itu, didalam masyarakat Indonesia pasti dikenal istilah tata krama. Atau seperangkat aturan untuk berlaku sehari-hari sesuai norma dan nilai kesopanan. Dengan tata krama itu, orang Indonesia ditempa menjadi manusia-manusia yang luhur. Dengan tata krama, manusia Indonesia dicetak sebagai manusia yang penyayang, banyak  tersenyum, bla.. bla.. bla.. dan lain sebagainya seperti yang biasa kita lihat pada iklan Wonderfull of Indonesia.
Tetapi siapa yang tahu wajah dibalik topeng laku bangsa-bangsa? Orang-orang boleh berkata kalau bangsa Indonesia adalah bangsa yang baik dan lembut hatinya. Tetapi lidah tak bisa bohong fakta tak bisa dibohongi. Istilah kerennya siapa yang tahu ‘muna’nya bangsa ini?
Sejarah akan selalu mengingat peristiwa-peristiwa paling biadab dimuka bumi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, yang ‘katanya’ baik dan lemah lembut hatinya itu. Sejarah akan terus mencatat peristiwa silam hingga yang barusan terjadi, dari babak ke babak, dari periode ke periode. Semenjak masa kerajaan hingga masa reformasi saat ini.
Barangkali orang Indonesia memang begitu mudah lupa, atau memang dipaksa lupa. Peristiwa-peristiwa pembantaian saat masa kerajaan silam serta pembunuhan yang teramat keji seperti matinya Trunojoyo, pembalasan dendam berantai di atas tahta singosari dan banyak lainnya hanya menjadi dongengan kelas saja. Seolah-olah baginya masa silam hanyalah sebuah hikayat yang tak ada artinya.
Belum lagi pembantaian-pembantaian etnis yang kerap dilakukan ketika masa gejolak terjadi. Siapa yang dapat melupakan pembantaian etnis cina di Tanjung Priok, pembantaian para dewan jendral ’65, dan pembantaian-pembantaian massal sesudahnya?
Kekejian masa Orde Baru siapa yang masih ingat? Mayat-mayat betato tergeletak di pinggir kali setiap pagi. Jurnalis mati, aktivis hilang satu-satu. Seniman dipenjara, kata dibungkam dan pengangguran meraja lela. Orde baru runtuh disuarakanlah Reformasi.
Sayang, Reformasi tak bersuara dengan murah. Untuk menggelar Reformasi mari kita hitung berapa nyawa mahasiswa yang habis diberondong pelor aparat negeri sendiri kala itu? Berapa banyak perawan diperkosa, kios dijarah, orang dibakar ketika itu? Ah, mungkin saya harus menanyakan itu pada langit tua, atau rumput yang bergoyang saja. Saya kurang percaya pada manusia, pun pada para sejarawan. Sebab sejarah dinegeri ini teralalu lama direkayasa oleh penguasa. Jadi, ya, ah sudah lupakan saja!
Perang antar suku yang terjadi juga perlu dicatat. Kemana “Bhineka Tunggal Ika” yang jadi semboyan bangsa ini. Apakah kata yang tertera di lambang negara itu hanya sekedar simbol dan formalitas suatu negara saja? Mengapa negeri yang menjunjung tinggi kerukunan ini masih saja saling bunuh membunuh antar golongan di dalamnya.  
Katakanlah konflik Sampit dan Sambas antar suku Dayak dan Madura. Konflik di Ambon dan Poso yang baru dingin belakangan ini, konflik dan perang antar suku di Papua yang tiada henti. Ditambah kasus-kasus seperti di Mesuji, dimana orang-orang dibantai hanya karena berebut lahan. Kalau sudah begini coba hitung korban-korban yang mati mengenaskan dalam konflik terebut. Ratusan? Ribuan? Atau bahkan jutaan?
Setelah mengingat itu semua, apakah masih bisa kita bilang kalau bangsa Indonesia adalah bangsa yang damai, menghormati perbedaan, ramah dan bertoleransi? Lha wong pilgub DKI saja gara-gara calonnya non muslim sudah demo besar-besaran. Alibinya karena penistaan agama, tetapi kenapa cuma si Cagub itu saja yang didemo, kenapa yang bilang agama Kristen itu salah, Buddha itu konyol dan muslim yang tidak shalat lima waktu tidak didemo dengan alibi yang sama?
Masihkah Indonesia pantas dilabeli dengan seperangkat jargon sebagai bangsa yang ramah, dan semacamnya itu. Sementara barusan yang terjadi penyidik kasus korupsi di siram air keras oleh oknum tak dikenal. Karena peristiwa itu saya jadi berpikir, apakah hal itu terjadi karena saking dari baiknya bangsa ini, sampai-sampai bangsa ini ikut baik juga pada para koruptor dan meneror orang-orang yang menyidik kasusnya?
Sebenarnya pegel sendiri jika bicara kabar negeri hari ini. apalagi biaya tunggakan sewa kos selalu ditagih oleh Ibu Kos. Iya, tanah air sendiri hanya mitos. Tanah air dinegeri ini milik orang-orang yang dapat warisan dan modal saja. Selebihnya menunggu realisasi Gubernur terpilih di DKI Jakarta dengan program rumah DP Rp. 0-nya itu. Jika sukses, semoga bisa diterapkan di kota-kota lain agar orang-orang bisa punya rumah dan merasakan tanah air dinegerinya sendiri.
Ah kan, bahasannya kemana-mana. Tetapi begitulah wajah lain negeri ini. Tinggal kita menimbang-nimbang, yang mana wajah aslinya, yang mana yang jadi topengnya? Indonesiaku yang ramah, toleransi, dan lemah lembut hatinya apakah hanya sekedar branding atau memang nyatanya demikian? Atau, Indonesiaku buruk rupa aslinya? Mari ngopi sendiri-sendiri sambil mengingat kejamnya hidup di Indonesia yang kita cintai.
Setelah hujan reda dan rokok tak punya
Blega, 22April 2016

Post a Comment

0 Comments