Membaca
Nyanyian Angsa
Jam tujuh malam, matahari kelabu terang
dimatamu
Ombak mendebur, melaju jauh
berpasang-pasang
Bersahut-sahut, sampai deru nafasmu tiba
padaku
”Aku bukan Maria zaitun” getir ucapmu.
Bising jalan dan hirup pikuk Surabaya
Meminang dan mendekapmu begitu erat
Begitu hangat seperti kau dekap aku
malam itu
Di pinggir rel, kala luka hatiku.
Engkau adalah kejujuran yang tersisa
Engkau suci, takdir yang melemparmu
kemari
Lingkungan berdebu, bau pesing dan
alkohol
Dan ketakutan-ketakutan lain yang
membuntutimu.
Barangkali kau juga sama, pernah
membayangkan
Tidur dengan tenang, dengan pulas dan
damai
Sambil mendengar lelakimu membaca puisi
yang kau suka;
Maria Zaitun namaku…
Kemudian, seperti yang lalu-lalu
Tubuhmu bergetar, nyanyian angsa menikam
jiwamu.
Luka Sedap
Malamku
Kepada perempuan di sudut jalangnya jiwa
Dik…
Rok minimu mampir di mimpiku
Menyingkap segala tabir rahasia
Yang telah lama disembunyikan waktu
Kau yang cantik menawan
Menghitung bintang saban malam
Rembulan di dadamu bersabda
Apa yang lebih keji selain mengingkari
hati nurani?
Detik, menit, dan jam terus berlalu
Namun kau tetap mekar dalam layu yang
memburu
Alangkah kejamnya hidup, katamu
Bermimpi tentang kebebasan omong kosong
adanya
Sekali ku dengar, jiwamu menangis
dicacah waktu
Kau terjajah dan masa depan makin
menyiksa
Dik…
Tegarmu menyentuh hatiku
Tak sekali kau memaki-mengutuki hidup
Dan make upmu tiada pudar bagai bunga
sedap malam
Jangan lara,
Tak usah menerka surga dan neraka
Pulanglah ke rumah ketika fajar mulai
tiba
Temui anakmu, katakan saja; bapakmu
sudah tak ada
Tuhan
Bersama
kupu-kupu malamku besenandung
Tuhan ku tahu tak akan berpaling
Pada tubuhku yang telanjang saban malam
Tuhan ku tahu ada bersama kami
Bersama luka dan perih yang menyayat
Saat gigil angin menghembus
Saat tubuhku bergilir dari satu pelukan
Kepada pelukan-pelukan lainnya
Dan satu persatu luka mulai tercipta
Tuhan bersamaku saat itu
Mendengar jerit tangis dalam hati
Meski tak ku tahu, apakah yang Tuhan
rasa
Saat lemah rintihku memanggil-manggil
namaNya
Tetapi, Tuhan bersamaku saat itu, kan?
Saat ini dan nanti malam
Iya, aku yakini itu
Desember
2016 – Juni 2017
Sambil
menatap hujan, teringat puisi Sapardi dan kenangan disebuah kota
Rasanya ingin
sekali menyulut rokok
0 Comments