Sebuah Ajakan



Hasil gambar untuk bulan bundar 
Dik… langit itu hitam, ya. Persis dengan kopi yang tersaji di depanku, gelap dan pekat bak gerai mayang rambutmu yang menggelombang jauh menuju pantai-pantai asing tak bernama. Hingga pada akhirnya kita tersadar itulah jiwaku. jiwa kasih, jiwa sayang, jiwa yang menyanjungmu tiada habis-habisnya. Jiwa yang terus ingin memberi dan tak pernah meminta. Jiwa yang menungetuk pintu hatimu, lembut sekali. Tidakkah kau mendengarnya, Dik?

Kau yang menggema dalam relung batinku menjelma angin yang pelan-pelan berhembus membawa nada-nada serta sajak para pujangga terdahulu. Menggema-gema, menggaung-gaung di dinding hatiku yang hitam, dingin dan kelam.
Mari, Dik. Sejenak saja rehatlah berlarian di pikiranku. Tenang, duduk saja disampingku, temani aku. Sebab sepi mulai kurang ajar dan hatiku memintamu untuk berdua saja bersamaku. Ya, sendiri disaat begini alangkah tak baiknya. Maka kemarilah, Dik. Kemari denganku, Sayang.
Genggam tanganku erat, kan ku bawa ka menuju bulan bundar yang bersinar di atas sana. Kita tinggalkan bumi dengan segala kegaduhannya, juga kita tingglakan manusia-manusia di dalamnya tak henti bersandiwara satu dengan yang lainnya. Tahulah kau, Dik, cinta kita begitu agungnya tanpa sandiwara yang menjemukan, seprti oase. Itulah, Dik, cinta yang ada di antara kita.
Maaf, dik. Bukan maksud hati bermanis-manis kata, tetapi inilah suara jiwa. Bukankah segala kebajikan bersumber dari sini, bukan dari hal-hal lainnya, apalagi dari materi, harta dan juga tahta, bukan, Dik, demikian hanya sumber bencana. Hanya sedikit kebajikan dapat ditemui disana.
Mengapa kau ragu, Dik. Mari, mari ikut aku. Cinta kita terlalu suci untuk berada di dunia yang busuk ini. Lihat mereka, saling tuduh satu sama lainnya. Fitnah jadi suatu yang wajar. Lihatlah, orang-orang itu memiliki seribu wajah berbeda, melebihi Rahwana. Terlalu banyak omong kosong berhamburan disini. Pembualan besar-besaran, beruntunglah cinta kita yang terbebas dari semua itu, Dik.
Ah, langit masih hitam dan bintang setia menabur. Ku rasai angin memburu dendam di setiap penjuru. Sudah jam berapa ini? ayo, Dik, cepat! Kita bergegas menuju bulan, ucapkan salam perpisahan pada bumi dan orang-orang di dalamnya yang tak mengenal kata puas.

Post a Comment

0 Comments