Magda Peters dan Sebutir Debu dalam Sastra


Akhir abad ke-19 seorang perempuan berkulit putih dengan totol-totol di wajahnya masuk ke dalam ruang kelas di HBS Surabaya. Tidak ada yang terlihat istimewa darinya, malah matanya yang kecoklatan dan selalu berkedip itu menimbulkan kesan layaknya monyet betina yang mudah terkejut.

Selang beberapa saat, kesan itu hilang manakala ia membuka suaranya untuk kali pertama. “Selamat siang, para siswa HBS Surabaya. Namaku Magda Peters, guru baru kalian untuk bahasa dan sastra Belanda. Acungkan tangan barang siapa tidak suka pada sastra.”

Hampir seisi kelas mengacungkan tangan, beberapa siswa sampai berdiri sebagai bentuk penegasan dari apa yang dijawabnya..

“Bagus. Terima kasih. Duduklah yang tertib. Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan.” Tak ada yang tertawa dan mentertawakan. Sunyi-senyap.

Magda Peters, mungkin hanya tokoh rekaan yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam roman Bumi Manusia. Meski demikian, saya tetap menaruh hormat sedalam-dalamnya pada tokoh fiksi tersebut. Terlebih ketika dia berkata di hadapan murid-muridnya yang antipati terhadap sastra, ”Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra,  kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”

Saat sampai di adegan tersebut, rasanya ada sensasi yang berbeda dalam diri saya. Selanjutnya, saya tidak bisa berhenti menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak kagum. Pram tak pernah gagal menempatkan diskursus lewat tokoh-tokohnya.

Tapi dari apa yang diungkapkan lewat Magda Peters tersebut, bukan berarti saya kemudian mencap kawan-kawan yang belum mencintai sastra adalah bagian dari golongan hewan belaka, tidak sama sekali. Sekalipun rasa heran masih ada, datang bersama sebuah tanya; mengapa masih ada manusia yang tidak mencintai atau sekedar menikmati sastra?

”Semua orang punya selera yang berbeda-beda,” begitulah jawaban yang diungkapkan seorang kawan pada saya. Menurutnya, setiap manusia memiliki daya tangkap yang tak sama. Beberapa lebih senang bergumul dengan buku-buku sastra sementara lainnya lebih senang dengan hal-hal yang praktis dan pasti.

Golongan kedua ini, lanjutnya, biasanya lebih senang dengan rumus paten di ilmu-ilmu pasti. Sastra bagi mereka adalah hal yang rumit dan sulit dipahami.

Aduhai, rasanya alasan-alasan macam itu tidak dapat diterima seujung kuku pun. Sebab yang pertama, sastra ada karena kebutuhan manusia. Pada hakikatnya, manusia selalu senang pada keindahan, oleh karena itulah sastra dilahirkan, sekali lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri.

Yang kedua, sastra ada untuk dinikmati. Rasanya lucu jika ada yang sinis terhadap sastra kemudian berkata, sastra itu rumit dan sulit dipahami, jlimet. Kalau sudah begitu, saya tinggal cengar-cengir saja mendengarnya. Paling mentok saya hanya bisa menjelaskan, betapa sastra adalah hal yang cukup dirasakan getarnya sampai ke dalam jiwa, terkesan agak drama memang, namun, demikianlah adanya.

Selanjutnya saya mengamini jika keberadaan sastra menjadi satu hal yang penting bagi satu bangsa, terlebih untuk kalangan mudanya. Ibnu Khaldun pernah memaparkan peran sastra di kalangan pemuda. Sastra menurutnya, adalah langkah awal untuk mengenalkan dan menumbuhkan rasa cinta ‘generasi tunas’ pada dunia literasi. Bagi Ibnu Khaldun, proses belajar memiliki beberapa tahapan, dan sastra baginya adalah gerbang dari permulaan tahapan tersebut.

Pun sastra selaras dengan jiwa-jiwa kaum muda. Sifatnya yang fleksibel – terlepas dari segala kontroversi madzhab dan pedapat, –  menjadikan sastra sebagai medium yang multifungsi. Sudah jadi hakikat alamiah jika para remaja begitu haus akan eksistensi dan butuh satu panggung untuk menumpahkan gejolak hatinya. Maka disini, sastra menawarkan solusi yang lebih baik dari sekedar tawuran atau penyalahgunaan zat-zat narkoba dan seks bebas.

Keselarasan sastra dengan jiwa-jiwa kaum muda dapat dilihat pula dari fungsi sastra sebagai alat perjuangan yang lekat dengan peran pemuda. Hal ini tergambar dalam wawancara Gabriel Garcia Marquez dengan pimpinan pasukan revolusi Zapatista, Subcomandante Marcos. Saat Gabo bertanya, mengapa masih mempunyai waktu membaca di sela-sela kekacauan kala itu. Marcos menjawab, ya, kalau tidak, apalagi yang akan kami perbuat. Di sini, senjata kami adalah kata-kata. Hal yang hampir serupa diuangkapkan oleh Napoleon Bonaparte, pena lebih tajam daripada pedang.

Kemudian dari uraian di atas, ada satu hal terpenting yang dimiliki sastra yakni, pembahasan yang tak terbatas. Sastra membahas segala hal. Selain seni dan keindahan, di dalam sebuah karya sastra lazim kita temui pembahasan psikologis, sosial, politik, hukum dan budaya.

Demikianlah sastra menjadi gelanggang bagi segala cabang ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu tak jarang kita menemukan filsuf, ilmuwan, dan budayawan yang juga seorang sastarawan. Barangkali mereka menerapkan apa yang ditulis Ibnu Khaldun, dimana cara mudah untuk memahami suatu pemikiran adalah dengan memasukkan teori-teori tersebut melalui gerbang sastra. Dalam hal ini sebut saja tokoh besar macam Voltaire, Jean P. sarte, Albert Camus, Emha Ainun Nadjib, Putut EA dan banyak penulis lain yang menjabarkan pemikirannya lewat sastra.

Mengetahui itu, rasanya geli saat seorang mahasiswa yang mengaku aktivis namun berkeluh, ”Saya malas membaca novel dan puisi, membingungakan dan minim manfaat. Saya lebih senang membaca buku-buku teori. itu jelas bermanfaat buat saya,”

Tiba-tiba kuping saya terasa gatal. Dorongan untuk tertawa, memaki dan menasehati datang berbarengan.

Apa Kabar Sastra Hari Ini?
Jika boleh bijak, apa yang dikatakan oleh mahasiswa tadi baiknya menjadi koreksi, apa kabar sastra hari ini?

Di masa sekarang, rasanya ada satu disfungsi dan pelabelan yang salah menempel pada sastra. Tidak bisa dipungkiri, dunia sastra saat ini dipenuhi oleh para penyair salon, penyair yang kata Rendra hanya bersajak tentang anggur dan rembulan tanpa peduli ketidakadilan yang terjadi di sekelilingnya.

Warna ungu surealisme, satu hal yang dibahas Arief Budiman. Dimana para penulis akhir-akhir ini seperti terjebak pada pergolakan perasaan pribadi dan mengesampingakan realisme sosialnya. Hal ini jelas berpengaruh, terlebih kepada pembaca dari golongan muda.

Penulis sekarang kebanyakan membungkus pesannya lewat kisah-kisah abstrak atau asmara menye yang menggedor-gedor hati. Seyogyanya, tidak ada yang salah dalam hal ini. Hanya saja, pembaca muda yang ‘gairahnya’ sedang menggebu-gebu sering gagal fokus saat membaca karya sastra model itu. Dimana kebanyakan dari mereka hanya memperhatikan hal-hal yang berbau asmara tanpa menemukan pesan yang hendak disampaikan.

Oleh karenanya, tidak heran jika belakangan ini puisi hanya dipandang sebagai jerit jiwa yang cengeng dan prosa layaknya karangan yang memanjakan imaji belaka. Penuh hiperbola. Perlahan, sastra pun menjadi hilang makna, lebur tak berbentuk.

Dari manakah hal ini bemula, rasanya kita hanya bisa menerka-nerka. Padahal, sastra sejak zaman lampau menduduki tempat yang terhormat. Dalam adat Jawa misalnya, mereka berpandangan bahwa kebutuhan utama adalah sastra. Di Eropa sendiri, sastra menjad tolak ukur dari prestise seorang yang terpelajar.

Sejenak, saya menghela nafas panjang. Ada rasa sesak jika melihat kembali geliat sastra di kalangan muda saat ini. Meski demikian, saya juga tahu masih ada kalangan muda yang dengan tulus menggeluti sastra. Masih cukup banyak dari mereka yang sadar akan pentingnya puisi dan agungnya prosa.

Kemudian, dari kalangan muda yang menyadari pentingnya sastra itu, alangkah perlunya dipupuk dan disemai, baik dengan membentuk komunitas maupun mengadakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sastra.

Ah, apapun itu, jika bicara sastra dan pemuda seperti ini, ujung-ujungnya saya selalu teringat pada ceramah seorang penyair dari Madura. Katanya, tidakkah lebih etis menyatakan cinta kepada seorang kekasih dengan sastra? Benar, alangkah romantisnya setangkai mawar dan selarik ucapan bertulis ‘izinkan aku mengecup sebutir debu yang melekat di ujung sepatumu’ daripada menerapkan metode kelon dulu baru sayang. Saya meyakini itu.

Post a Comment

0 Comments