Ribut-ribut gosip tentang anak tetangga
yang masih menganggur setelah lulus S2 sungguh mengganggu ketenangan saya.
Sambil menyedot rokok, sedikit banyak saya menguping apa yang digosipkan
mereka. Salah satu dari mereka berkata, hah, percuma sekolah tinggi kalau
ujung-ujungnya nganggur.
Satu persatu yang lainpun mengiyakan sampai salah seorang berkata,
”Sebenarnya apa maunya pemerintah, mereka suruh anak-anak untuk sekolah
tinggi-tinggi. Setelah itu, dianggurin gitu aja,” ungkapnya
dengan menggebu.
Semakin hangat percakapan mereka sampai
ada yang bertanya, sepenting apakah pendidikan itu, kalau penting, kenapa masih
ada lulusan S2 yang menganggur. Kenapa capek-capek sekolah kalau akhirnya
menganggur, lebih baik bertani saja di desa seperti kita.
Semua tertawa, kecuali satu orang. Orang
itulah yang kemudian berkata, ” Masalah rezeki itu, sudah urusan Tuhan. Tidak
usah sok tahu,” dengan itu, pergunjingan mereka bubar seketika.
Keributan dari gosip masalah pendidikan
dan lain sebagainya yang baru saja usai itu, mengingatkan saya pada seorang
kenalan yang sedikit kurang ajar. Sebut saja Jon, seorang lelaki lulusan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di salah satu universitas unggulan di ibu
kota. Suatu hari ketika kami asik ngopi, tiba-tiba dia bercemooh. Saya sebagai
suku Madura, dikatanya, kampungan. Pendidikannya tidak maju. Dia juga
memaparkan tingkat putus sekolah di Madura yang masih tinggi, setinggi monas,
eh tidak setinggi menara Eifel di Paris sana.
”Bagaimana, Mas. Pikirannya orang Madura
itu sebenarnya seperti apa? Masak iya tingkat putus sekolah sampai sekarang
masih tinggi-tinggi saja. Kalau begitu apa iya Madura bisa maju dan menjadi
provinsi tersendiri,” ujarnya dengan nada bercanda yang tidak lucu.
Untungnya, orang itu tengah berhadapan
dengan saya, orang Madura yang sabar dan terbuka. Saya tertawa saja, tidak
menjawab apapun. Namun, Jon seperti serius dengan hal ini. Dirinya seperti
menanti pendapat saya mengenai pernyataannya tadi.
”Miris, Mas. Angka putus sekolah di Madura
itu tertinggi se-Jatim lho. Yang saya baca, kalau tidak salah angka
putus sekolah pasca SMP/MTs sudah tembus angka 1600 di tahun 2016 kemarin. Mas, pasti sudah tahu itu,
kan?” tanyanya dengan pandangan yang menjengkelkan.
”Lalu, Mas,” lanjutnya “Dari apa yang saya
dengar, masalah ekonomi dan kurang ratanya pembangunan jadi penyebabnya, ya?”
Lama-lama risih, dengan perlahan dan suara
yang diberat-beratkan, saya katakan padanya. ”Jon yang baik hati, terima kasih
telah susah payah mengamati pendidikan di Madura,” sejanak menghirup nafas. Ada
kedongkolan yang menjelma dalam diri saya. ”Benar, apa yang kamu katakan itu
sesuai data yang tersebar dimana-mana. Tetapi, ada yang luput dari
pengamatanmu.
”Kebanyakan data putus sekolah hanya menampilkan nilai anak-anak yang putus
sekolah SD/MI, SMP/MTs dan SMA sederajat. Padahal, putus sekolah bukan berarti
putus pendidikan. Orang-orang boleh saja berkata Madura menjadi daerah dengan
nilai putus sekolah yang tinggi. Tetapi, jangan sekali-kali berpikir bahwa
Madura dipenuhi dengan anak-anak putus sekolah yang menganggur, bekerja atau
berumah tangga, sedikitpun, jangan!
”Saya juga tidak menyalahkan pendapat yang mengatakan masalah ekonomi dan
tidak meratanya pembangunan sebagai penyebab tingginya angka putus sekolah.
Tidak, bahkan saya membenarkan dua hal itu cukup meresahkan sebagai penyakit
yang belum juga diatasi oleh para bupati penguasa Pulau Garam ini, gubernur dan
presiden sekalipun.
”Tetapi, seperti yang sudah diungkpkan tadi, masalah putus sekolah tidak
berarti putus pendidikan. Mereka yang putus sekolah formal masih banyak yang
belajar di tempat-tempat lain. Sebab ilmu, bagi orang Madura bisa didapat dari
mana saja, sekolah hanya satu diantara yang lainnya.” Demikian saya pandangi
Jon yang manggut-manggut saja mendengar penjelasan yang saya berikan.
”Lho, kalau tidak di sekolah, terus
menuntut ilmunya dimana dong?” Jon yang menjadi polos saat itu
bertanya, lugu sekali.
Saya berkata pada Jon. Seyogyanya orang
Madura adalah orang yang religius. Itu dapat dilihat dari langgar, masjid dan
pondok pesantren yang lebih disukai mereka sebagai tempat menimba ilmu daripada
di sekolah umum yang dianjurkan pemerintah. Disamping itu, mereka percaya pada
ungkapan yang berbunyi, untuk menaklukkan dunia dan memperoleh kenikmatan
akhirat, hendaklah dengan mempelajari ilmu agama dengan sedalam-dalamnya.
Makanya, saya melanjutkan, kami –orang
Madura– lebih memprioriataskan mana yang lebih menguntungkan. Sebab, semua
orang sudah tau, orang Madura naluri bisnisnya tinggi. Bahkan untuk hal semacam
ini, kami harus cermat memperhitungkan, pendidikan yang mana yang lebih
menguntungkan bagi kami.
Kemudian setelah ditimbang, dikaji dengan
serius dan seksama. Kami mengamini pendidikan agama adalah pendidikan yang
lebih diprioritaskan ketimbang pendidikan formal di sekolah-sekolah mainstream.
Pendidikan agama yang biasa diajarakan di pondok-pondok dari kaca mata kami
memiliki nilai lebih daripada pendidikan formal ala sekolahan.
Kalau bertanya apa nilai lebih itu, yang
pertama pendidikan agama di pesantren tidak hanya membahas spiritualitas dan
urusan langit belaka. Disana, ilmu sosial, etika, moral, filsafat, sastra dan
tata cara sex yang baik juga diajarkan. Sedang di pendidikan ala sekolah
pemerintah, pendidikan agama hanya ada sekali dalam seminggu. Memang, ada
beberapa sekolah yang juga mempelajari ilmu fiqh, hadist, akidah akhlak dan
lainnya. Tetapi, ya, tetap saja tidak sedalam pelajaran di pesantren.
Itu yang pertama, yang kedua, malaikat
saat di dalam kubur tidak akan bertanya 2x2 berapa hasilnya, atau hewan pemakan
daging apa namanya. Ilmu-ilmu seperti itu hanya berguna untuk menjawab soal
saat ujian di sekolah saja. Maka jelas pendidikan agama adalah pendidikan yang
berorientasi jangka panjang. Pendidikan yang seperti itulah yang menjadi
prioritas orang Madura.
”Jadi, maksudnya, orang Madura lebih
memilih meninggalkan sekolah formal dan menempuh pendidikan di pondok-pondok
pesanteren?” Jon mengejar tanya.
”Bisa dibilang begitu,” jawab saya pendek.
”Lalu, apa orang Madura macam itu tidak
butuh ijazah? Di zaman ini kan kalau mau cari kerja harus pakai ijazah, dan
saya yakin, ijazah pondok pesantren tidak laku dipasaran” Ungkap Jon sambil
mengerutkan dahi dan tersenyum , senyum yang tidak enak dipandang.
“Sorry, ya. Tetapi, saya sudah
bilang. Orang Madura itu naluri bisnisnya tinggi. Mengapa harus jadi kuli yang
perlu ijazah untuk mendapat pekerjaan kalau bisa buka usaha sendiri tanpa
membutukan ijazah? Lagipula, rezeki sudah ada yang mengatur, percaya saja.
Pendidikan itu untuk menambah ilmu, salah jika dijadikan sebagai jamianan
rezekimu,” mendengar itu, Jon cengar-cengir sendiri. Setelah itu, kopi kami
habis, rokok pun tidak ada dan percakapan menjadi mati karena Jon merenungi
percakapan itu dengan begitu dalamnya.
*Tulisan ini bisa dibaca di sini sembari mengamati wacana tebu Madura.
0 Comments