Air mata
itu masih belum berhenti mengalir. Barangkali mereka masih bertanya-tanya,
mimpikah ini?
Berikan aku seribu orang tua maka akan kucabut
Semeru dari akarnya, berikan aku sepuluh pemuda maka akan kugoncangkan dunia.
Kata-kata yang sempat digelorakan oleh Soekarno itu, dipekikkan kembali dengan
emosi tak terbendung kala Ernando Adi menepis pinalti terkahir kesebelasan
Thailand. Bak gayung bersambut, teriakan, tangis dan haru melingkup ke seluruh
penjuru negeri. Dalam sepak bola kekalahan memang menyedihkan namun, kemenangan
adalah hal yang paling menguras air mata. Setelah doa-doa dipanjatkan sepanjang
pertandingan, kepala-kepala itu mulai tegak, menyusuri sekeliling lapangan
dengan mata berkaca-kaca dan senyum kebanggaan.
Air mata dalam sepak bola memang bukan hal baru. Selain urusan menang dan kalah, ada urusan harga diri, mimpi serta harapan yang dibawa dalam setiap pertandingan. Sepak bola menjadi hal yang sakral dan emosional. Konon, hampir seluruh lelaki sempat memiliki mimpi yang sama untuk menjadi pemain sepak bola dan memenangkan setiap turnamen untuk negerinya. Sayangnya takdir tidak pernah bisa ditebak, namun yang pasti semua lelaki akan memberikan apapun untuk mencapai mimpinya, meski mimpi itu hanya dititipkan lewat orang lain.
Indonesia
dan Sepak Bola
“Siapa kita? Indonesia! Siapa kita? Indonesia!”
sorak-sorai itu amat lantang mengobarkan api nasionalisme. Sejarah tak bisa
berulang, tapi sejarah masih bisa diciptakan. Setelah kemenangan timnas U-19
lima tahun lalu, peceklik gelar Indonesia disudahi oleh penampilan gemilang
anak-anak muda yang menggandol tropi AFF U-16. Di tempat yang sama, diantara 35
ribu orang yang memadati Gelora Delta Sidoarjo anak-anak muda itu sukses
melepas kerinduan masyarakat Indonesia akan gelar juara.
Namun kita pun tahu, untuk tataran usia sebelia
itu juara hanyalah bonus yang wajib diapresiasi. Timnas sudah juara sejak
menumbangkan Malaysia di semi final lalu. Poin utama dari semua itu tidak lain
adalah pembinaan. Dan yang lebih utama dari semua itu adalah persatuan.
Keberadaan timnas memang diharapkan menjadi pemersatu seluruh elemen masyarakat
Indonesia. Baik suporter yang senantiasa berseteru satu sama lain, kaum buruh,
petani maupun mahasiswa yang setia menganggur di warung kopi. Semua satu suara,
satu komando: Indonesia juara!
Sementara berbicara tentang persatuan, kata itu
memang terkesan utopis akhir-akhir ini, khususnya di dunia suporter sepak bola.
Seperti sudah menjadi pengetahuan umum, suporter di Indonesia terbagi menjadi
beberapa kelompok yang tak kunjung henti buru-memburu satu sama lain. Rivalitas
tak hanya di dalam lapangan, namun jauh meluber ke jalan-jalan. Tidak ada yang
tahu pasti, sejak kapan permusuhan turun menurun itu dimulai. Yang jelas bagi
mereka hanyalah permusuhan abadi itu perlu dilestaraikan. Satu mati, balas
besok hari.
Adanya timnas seperti membuka momentum
persatuan itu kembali. Perdamaian-perdamaian yang berujung pada jalan buntu
menemukan harapannya disini. Setidaknya, dalam jeda ini semua elemen memakai
atribut yang sama, menaruh egonya masing-masing dan datang ke stadion dengan
tujuannya yang satu.
Selanjutnya hanya tinggal bagaimana cara
menjaga persatuan itu tetap utuh di tataran suporter lokal. Ruh yang sudah
dibawa dalam pertandingan timnas, entah bagaimana caranya mesti merasuk kedalam
setiap suporter klub-klub daerah. Semangat persatuan mesti digalakkan, pekik
“kita Indoneia!” tak boleh berhenti di luar pertandingan timnas saja.
Kemudian, disamping dari semua hal yang sudah
disebutkan. Antusias masyarakat Indonesia terhadap keberadaan timnas selevel
U-16 sekalipun, menunjukkan betapa haus mereka akan hiburan alternatif selain
sinetron yang itu-itu saja. Maklum, di era yang penuh dengan
kerumitan-kerumitan elit politik beberapa tahun belakangan, masyarakat sering sepaneng meihat tingakah lucu yang
dipertontonkan politikus negeri ini.
Terlebih, hampir semua media terus-terusan
membahas masalah seperti, runyamnya politik, perebutan tahta, manuver koalisi
dan tetek bengek lainnya memenuhi koran, televisi, maupun sosail media. Sampai pada akhirnya sepak bola yang dibawa
timnas kemudian datang menjelma alternatif paling menjanjikan untuk segenap
masyarakat Indonesia. Satu-satunya tempat untuk melepaskan kemuntaban,
mengeluarkan segenap ekspresi dan membebaskan emosi.
Melihat anak-anak muda berjuang demi lambang
garuda di dada, setidaknya cukup bagi masyarakat Indonesia untuk mengamini satu
frasa, yang muda berjuang untuk bangsa.
Diatas, orang tua sibuk berebut kuasa. Frasa yang miris, penuh ironi dan
sayangnya, benar.
“Indoensia tanah air beta, pusaka abadi nan
jaya” lagu Indonesia puasaka pun dinyanyikan, seisi stadion mulai menggema. Air
mata yang sudah terhapus, pelan-pelan kembali tumpah. Turnamen kita tahu, sudah
berakhir sejak David Maulana mengangkat tropi. Namun semua tak boleh berhenti
disini. Masih ada yang perlu dibenahi, masih banyak pekerjaan yang harus
diselesaikan untuk timnas dan masyarakat Indonesia.
0 Comments