Dilema Dua Bapak Serta Paradoks Kebijakan Kaki Lima di Jakarta


Bapak saya seorang pedagang sate di Jakarta. Beberapa tahun silam, beliau mengeluh kalau omzet dagangannya semakin lama semakin turun. Sebagai orang awam, bapak saya hanya menyalahkan satu: pemerintah. 

Bapak tidak tahu harus menyalahkan siapa lagi, sebagai orang Madura yang agamis tak mungkin beliau menyalahkan Tuhan atas seretnya rezeki yang diperoleh akhir-akhir itu. Oleh karena hal tersebut, beliau hanya berani menyalahkan wakil-Nya saja. Ya, bapak saya masih percaya, selain ulama, umara atau pemerintah adalah wakil-wakil Tuhan di muka bumi.

Biarpun hanya lulusan pesantren, bapak memiliki analisis dari rantai ekonomi yang menyebabkan dagangannya kurang laris saat itu. Menurut beliau, kebijakakan pemerintah DKI Jakarta yang begitu ketat pada sistem birokrasi ditengarai menjadi sebabnya. Kata bapak, Gubernur yang terlalu sering melakukan inspeksi mendadak di kantor-kantor pemerintahan dan begitu rajinnya mencegah pungli sangat berakibat fatal untuk perekonomian keluarga.

Mengapa demikan, jawabnya sederhana. Kebanyakan pelanggan Bapak adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS). Selain gaji yang pas-pasan dan tunjangan yang dibuat bayar cicilan, para PNS itu perlu ceperan untuk kebutuhan lain yang tak bisa dipenuhi dengan gaji dan tunjangan belaka, membeli sate salah satunya. Sementara kita juga sama tahu, ceperan yang mereka peroleh tak lain berasal dari ‘salam tempel’ yang masyarakat beri atas nama ‘tidak enak hati’ setelah ‘meminta’ pelayanan birokrasi untuk beberapa urusannya.

Ketatnya larangan ‘salam tempel’ untuk PNS yang diterapkan pemerintah otomatis membuat bapak saya gigit jari. Ini seperti mata rantai, para pegawai yang penghasilannya turun jadi semakin menghemat pengeluarannya, termasuk mengurangi pengeluaran mereka untuk membeli sate bapak saya. Satu hal yang mengerikan juga bagi saya, karena itu berarti jatah bulanan saya juga akan mengalami pemangkasan.

Meski begitu bapak saya tidak sendirian, tetangga kami yang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang kaki lima (PKL) sudah jauh-jauh hari merasakan efek dari kebijkan pemda setempat. Atas nama tata kelola kota yang lebih baik, para PKL itu harus rela menanggalkan lapak tempatnya mengais rezeki. Dan seperti bapak, tak ada yang bisa mereka perbuat selain menyalahkan pemerintah.

Barang tentu apa yang dipikirkan oleh bapak dan tetangga saya di Jakarta bertolak belakang dengan keyakinan kaum-kaum intelek macam para pakar dan mahasiswa –kecuali mahasiswa yang seperti saya. Pakar hukum tata negara atau tata kelola kota misalnya, pasti akan sangat mendukung kebijakan-kebijkan pemda Jakarta itu. Lagipula memberantas pungli adalah kewajiban pemerintah sebagaimana menata kota agar tetap indah dan tidak tercemari oleh PKL yang membandel.

Akhirnya, bapak saya senantiasa memaki pemerintah, nyaris setiap hari, setiap pulang dagang. Untungnya, bapak saya bukanlah siapa-siapa. Suaranya hanya sayup-sayup, sukar didengar apalagi harus menembus tembok balai kota. Saya memaklumi itu, toh demokrasi tidak berjalan dengan baik di negeri ini. Namun jujur, saya bersyukur lantaran runyamnya demokrasi membuat keluhan bapak tidak didengar oleh awak media atau para aktivis mahasiswa Indonesia. Kalau itu terjadi, saya takut bapak didemo oleh kakak-kakak mahasiswa karena dituding mengkhianati sebuah idealisme, lebih-lebih dituduh anti pemerintah dan berusaha makar. Bisa gawat jadinya.

Sementara itu, saya yang sudah bapak sekolahkan hingga jenjang perguruan tinggi dibuat bingung harus mendukung siapa. Satu sisi ingin menjelaskan maksud pemerintah, mbok, ya enggak bener-bener amat. Hendak mendukung bapak menyalahkan pemerintah, ya, enggak salah-salah juga.

Dari pada bingung, saya membawa persoalan ini ke meja warung kopi untuk didskusikan bersama kawan saya, Roni. Mendengar dilema yang saya alami, dia hanya tersenyum, agak getir. Sempat saya menerka-nerka, apakah gerangan yang tersembunyi dari senyum yang gatheli itu?

Tidak membutuhkan waktu lama semua itu terungkap. Roni pun tak punya solusi, rupanya dia mengalami hal yang serupa dengan saya. Bapaknya pedagang jam di daerah Bangkalan, pelanggannya orang-orang dinas dan anggota DPRD. Namun seperti bapak saya, sejak presiden yang sekarang berkuasa, ada sedikit penurunan dari omzet yang diperoleh bapaknya. Terlebih setelah ketua DPRD Bangkalan ditangkap KPK, semua makin tambah meradang.

Ringkas cerita presiden banyak memotong anggaran tunjangan pegawai dan KPK semakin ketat di Bangkalan. KKN dan suap menyuap mulai mandek –meski tak habis benar. Orang-orang dinas yang biasanya mendapat penghasilan lebih dari perbuatan itu harus mulai membiasakan diri untuk menghemat pengeluaran. Kabar buruk bagi bapaknya Roni. Dagangan semakin sepi, boro-boro membeli jam tangan, sudah proyek sepi dan utang pilkada lalu belum lunas, para anggota DPRD itu sudah dihadapkan oleh dana kampanye untuk pilkada yang akan datang

Semua geleng-geleng kepala. Rony bertanya apakah untuk meciptakan negara yang bebas dari KKN dengan pemerintahan yang jujur harus sesengsara ini bagi kami? Saya tertawa mendengarnya. Sambil ngudud saya katakan padanya, saya tidak peduli pada apa yang terjadi di Bangkalan. Yang penting di Jakarta semua sudah kembali normal. Bapak mulai naik lagi omzetnya dan tetangga saya sudah mulai berjualan dengan bebas sebagai kaki lima.

Sambil tersenyum seperti orang-orang yang menang judi di televisi, saya bertanya pada Rony. ”Kamu tahukan kenapa itu bisa terjadi?” tak ada jawaban, kami hanya tertawa sampai meneteskan air mata.

Post a Comment

0 Comments