Menanti Kemarau di Bulan April: Lima Puisi untuk Lima Nama



Puisi-puisi ini saya tulis sebagai kado, penghargaan, permohonan maaf dan rasa terima kasih, serta permintaan tolong kepada mereka yang memliki tempat khusus di dalam hidup saya. Meraka, yang dalam istilah Gie, pernah baik, pernah mesra dan simpati pada saya. Terakhir, meminjam istilah Virgiawan Listanto, semoga damai kami sepanjang hari.




Lilin Tengah April
untuk is yang semakin tua dan perlu menyuap adik-adik yang lapar
coba kita ingat kembali, sejenak
berapa jejak yang kita tinggal
di antara doa-doa saat kabut
lembut mengusap embun pagi hari

atau tentang jalanan dan matahari
juga lampu merah yang tabah itu
seperti gemetar menanti bus kekasih
melintas bersama debu di sudut kota

is, detik yang terluka adalah kita
coretan dinding, kata protes, dan
kesakitan yang dibungkus plastik
menjadi tema besar selain lupa

setelah itu, kita tahu hanya kerumitan
selebihnya dendam yang dibawa maut
dan bersembunyi di balik daun pohon tin

kau ingat, apa kata nietzche?

di sekat yang berpetak ini
kurapikan sekali lagi rambut dan baju
ingat, ini april meski tanpa lilin dan api
maka di sisa hari, jangan ada air mata
lagi


Lelaki yang Lupa Meminum Obat
kepada mazsmo?
mari bertaruh, saudaraku
mana yang lebih jujur: penyair atau pemabuk?

kau tak perlu berteriak sekarang
jiwamu yang indie, kutahu hanya berisi lembut senja
atau warna awan dan ketenangan desir pantai.

maka diam dan tetaplah di sini
karena jika wangi tembakau tak mampu menahanmu
akan kemana lagi kau pergi bertapa mencari sunyi itu?

ingatkah, di sepi ini
hanya ada gitar rongsok juga sesak
serta kenangan yang pegal-pegal
diliput debu dan caci maki mulut kotorku

kau, masihkah linu atau sudah impoten?
jangan terlalu banyak makan micin, saudaraku
minum obatmu dan keluarlah dari dongeng cinderella

kemudian jadilah lelaki yang mempecundangi air mata
dan damailah sembari membayangkan dada wanita

tapi ingat, janganlah mati lebih dulu
kita masih belum selesai
masih ada seribu pertaruhan lagi
dan kau sampai kini belum juga mau berkorban


Untuk Perempuan yang Mengingatkan Aku pada Sarapan, Gunung, dan Tuhan
Adakah. Adakah kau selalu mesra
dan aku bagimu indah?
-Chairil Anwar
percayakah ia jika kemelut di dadaku
hanya berisi badai dan serunya yang samar
“tetaplah tinggal, tetaplah tinggal,” kudengar itu

ombak, memang tak pernah menanti kepergian
tetapi pasang selalu tiba dan aku masih tualang
menyeret langkah menuju rimba tanpa nama

”jangan bersedih, perempuanku. di pelabuhan
kapal-kapal tiba hanya untuk berlayar kembali.”

malam lalu jadi sangsi di matanya
mata yang sempat kukecup dan kujadikan rumah
untuk puisiku bertempat, tidur dan menanak nasi

kemudian tentang cerita panjang
akankah tiba sampai ke puncak-puncak bukit
atau cuma jadi buih setelah jangkar kuangkat

tak ada yang tahu, sebab yang pasti
hanya aku lelaki dalam kemelut
yang di dadanya penuh dengan sesal dan seruan
“tetaplah tinggal.. tetaplah tinggal,” terus kudengar itu


Badai Tak Kenal Kata Sudah di Sini
-waktu
di tanah ini kau tiba seperti pengembara
datang dan pergi. tetapi kutahu
risaumu terus menderu seperti klakson
di simpang wonokromo sebelum maghrib tiba

lantas, apa yang kau cari di sini, lelaki?

kau yang mengkhatami warung kopi
dan becek pasar sepanjang tidur manusia
geloramu api unggun di terminal menyala
kau lautan yang dihujani tanda tanya

namun,  belum tuntaskah gatal di dadamu
hingga sepagi ini kau berlari mencari dekap
menuju hutan terlarang, padahal kau tahu
selain maut tak kan lagi ada satu kau temu

“aku ranggalawe, aku binatang jalang yang hidup
di dalam sajak. biarkan aku hidup
biarkan aku  terus berlari,” kau mabuk, rupanya

sadarkah, selain kesal di tempat ini
badai tak kenal kata sudah. maka terjagalah
dan jangan menebar topan: kau. sudahkah
memahami, apa yang hendak kau cari di sini?


Kau Tiba Pukul Berapa?
untuk saudariku, cinderella komplek dari pesisir
mengingatmu seperti yogyakarta di musim hujan
teduh dan penuh akan makna. tabik padamu
kutitipkan lewat bus mini di pertigaan itu:
sudah sampaikah waktu untuk kita berkeluh kesah?

pukul sepuluh pagi ini, aku yang kehabisan rokok
hanya bisa mengingat kemeja pemberianmu
kemeja itu sudah kupakai dan kusetrika dengan rindu
dan di tiap lipatnya kutaruh jengah yang entah apa sebabnya

kau yang pandai menghitung musim, beri tahu aku
akankah kemarau tiba sebantar ke depan
atau hujan akan terus tinggal mengintip
di celah tikai sepanjang aku nahkodai kapal?

selebihnya kita sadar, ini belum ada separuh jalan
maka cepat bergegaslah dengan hati-hati
dan coba jenguk benang kusut di dalam kepalaku
sebab tembok kau tahu, tak pernah sedia telinga

cepatlah, aku tinggal sendiri –sekali lagi tanpa rokok
menantimu sedia membuka maaf dan membantuku
membaca rasi bintang beserta arah angin:
jadi, pukul berapa kau kan tiba?


Tempat paling sepi yang diterjemahkan sebagai rahasia, 18-19 April 2019
Sirajudin


Post a Comment

0 Comments