Puisi-puisi ini
saya tulis sebagai kado, penghargaan, permohonan maaf dan rasa terima kasih,
serta permintaan tolong kepada mereka yang memliki tempat khusus di dalam hidup
saya. Meraka, yang dalam istilah Gie, pernah baik, pernah mesra dan simpati
pada saya. Terakhir, meminjam istilah Virgiawan Listanto, semoga damai kami
sepanjang hari.
Lilin Tengah April
untuk is yang semakin tua dan perlu menyuap adik-adik yang lapar
coba kita ingat kembali,
sejenak
berapa jejak yang kita tinggal
di antara doa-doa saat kabut
lembut mengusap embun pagi
hari
atau tentang jalanan dan
matahari
juga lampu merah yang tabah
itu
seperti gemetar menanti bus
kekasih
melintas bersama debu di sudut
kota
is, detik yang terluka adalah
kita
coretan dinding, kata protes,
dan
kesakitan yang dibungkus
plastik
menjadi tema besar selain lupa
setelah itu, kita tahu hanya
kerumitan
selebihnya dendam yang dibawa
maut
dan bersembunyi di balik daun
pohon tin
kau ingat, apa kata nietzche?
di sekat yang berpetak ini
kurapikan sekali lagi rambut
dan baju
ingat, ini april meski tanpa
lilin dan api
maka di sisa hari, jangan ada
air mata
lagi
Lelaki yang Lupa Meminum Obat
kepada mazsmo?
mari bertaruh, saudaraku
mana yang lebih jujur: penyair
atau pemabuk?
kau tak perlu berteriak
sekarang
jiwamu yang indie,
kutahu hanya berisi lembut senja
atau warna awan dan ketenangan
desir pantai.
maka diam dan tetaplah di sini
karena jika wangi tembakau tak
mampu menahanmu
akan kemana lagi kau pergi
bertapa mencari sunyi itu?
ingatkah, di sepi ini
hanya ada gitar rongsok juga
sesak
serta kenangan yang
pegal-pegal
diliput debu dan caci maki
mulut kotorku
kau, masihkah linu atau sudah
impoten?
jangan terlalu banyak makan
micin, saudaraku
minum obatmu dan keluarlah
dari dongeng cinderella
kemudian jadilah lelaki yang
mempecundangi air mata
dan damailah sembari membayangkan
dada wanita
tapi ingat, janganlah mati
lebih dulu
kita masih belum selesai
masih ada seribu pertaruhan
lagi
dan kau sampai kini belum juga mau berkorban
Untuk Perempuan yang
Mengingatkan Aku pada Sarapan, Gunung, dan Tuhan
Adakah. Adakah kau selalu mesra
dan aku bagimu indah?
-Chairil Anwar
percayakah ia jika kemelut di
dadaku
hanya berisi badai dan serunya
yang samar
“tetaplah tinggal, tetaplah
tinggal,” kudengar itu
ombak, memang tak pernah
menanti kepergian
tetapi pasang selalu tiba dan
aku masih tualang
menyeret langkah menuju rimba
tanpa nama
”jangan bersedih, perempuanku.
di pelabuhan
kapal-kapal tiba hanya untuk
berlayar kembali.”
malam lalu jadi sangsi di
matanya
mata yang sempat kukecup dan
kujadikan rumah
untuk puisiku bertempat, tidur
dan menanak nasi
kemudian tentang cerita
panjang
akankah tiba sampai ke
puncak-puncak bukit
atau cuma jadi buih setelah
jangkar kuangkat
tak ada yang tahu, sebab yang
pasti
hanya aku lelaki dalam kemelut
yang di dadanya penuh dengan
sesal dan seruan
“tetaplah tinggal.. tetaplah
tinggal,” terus kudengar itu
Badai Tak Kenal Kata Sudah di
Sini
-waktu
di tanah ini kau tiba seperti
pengembara
datang dan pergi. tetapi
kutahu
risaumu terus menderu seperti
klakson
di simpang wonokromo sebelum
maghrib tiba
lantas, apa yang kau cari di
sini, lelaki?
kau yang mengkhatami warung
kopi
dan becek pasar sepanjang
tidur manusia
geloramu api unggun di
terminal menyala
kau lautan yang dihujani tanda
tanya
namun, belum tuntaskah
gatal di dadamu
hingga sepagi ini kau berlari
mencari dekap
menuju hutan terlarang,
padahal kau tahu
selain maut tak kan lagi ada
satu kau temu
“aku ranggalawe, aku binatang
jalang yang hidup
di dalam sajak. biarkan aku
hidup
biarkan aku terus
berlari,” kau mabuk, rupanya
sadarkah, selain kesal di
tempat ini
badai tak kenal kata sudah.
maka terjagalah
dan jangan menebar topan: kau.
sudahkah
memahami, apa yang hendak kau
cari di sini?
Kau Tiba Pukul Berapa?
untuk saudariku, cinderella komplek dari pesisir
mengingatmu seperti yogyakarta
di musim hujan
teduh dan penuh akan makna.
tabik padamu
kutitipkan lewat bus mini di
pertigaan itu:
sudah sampaikah waktu untuk
kita berkeluh kesah?
pukul sepuluh pagi ini, aku
yang kehabisan rokok
hanya bisa mengingat kemeja
pemberianmu
kemeja itu sudah kupakai dan
kusetrika dengan rindu
dan di tiap lipatnya kutaruh
jengah yang entah apa sebabnya
kau yang pandai menghitung
musim, beri tahu aku
akankah kemarau tiba sebantar
ke depan
atau hujan akan terus tinggal
mengintip
di celah tikai sepanjang aku
nahkodai kapal?
selebihnya kita sadar, ini
belum ada separuh jalan
maka cepat bergegaslah dengan
hati-hati
dan coba jenguk benang kusut
di dalam kepalaku
sebab tembok kau tahu, tak
pernah sedia telinga
cepatlah, aku tinggal sendiri
–sekali lagi tanpa rokok
menantimu sedia membuka maaf
dan membantuku
membaca rasi bintang beserta
arah angin:
jadi, pukul berapa kau kan
tiba?
Tempat paling sepi yang diterjemahkan sebagai rahasia, 18-19 April 2019
Sirajudin
0 Comments