Sedap Manis Bumbu Persaudaraan: Dari Madura Sampai ke Don Corleone di Film Godfather



Bonafera... Bonafera… what i’ve i ever don’t make you treat me so disrespectfuly? If you’d come in friendship the scum that ruined your doughter would be suffering this very day. And if an honest man like you should make enemies, they’d be my enemies. –Don Corleone (Godfather)


Kita ingat, pada scane opening film Godfather, Don Bonafera meminta pertolongan pada Don Corleone untuk menuntaskan dendamnya. Ditawarkannya pada Corleone berapa pun biaya yang harus ditanggung. Tetapi, kita tahu, Don Corleone, tokoh kita ini menolak segala bayaran. Ia hanya meminta respek dan persaudaraan, sehingga dengan begitu ‘musuhmu akan menjadi musuh bagiku.’


Jauh berpuluh tahun setelah perilisan film Godfather, di sebuah negara berkembang, tepatnya di pulau antah berantah yang khalayak umum ramai mengenalnya dengan sebutan Madura, salah satu nilai penting dari film Godfather itu rasanya perlu untuk saya timbang kembali. Pada suatu pagi, seorang kenalan lama yang juga saudara jauh tiba-tiba mengontak saya. Sebagaimana formalitas awal sebuah percakapan, kami saling bertanya kabar, bertanya kesibukan dan segala basa-basi lainnya. Hingga pada inti percakapan, dia mengundang saya untuk menghadiri pertemuan yang akan diadakan beberapa hari kemudian. “Untuk silaturahmi antar saudara,” katanya.


Saat itu tengah ramai kampanye menjelang pemilu. Saya timang undangan via telepon itu. Silaturahmi antar saudara? Alasan yang bagus, tetapi di dunia yang berjalan serba pragmatis ini, kita tahu, banyak yang menganggap kalau saudara diakui hanya saat dibutuhkan saja. Pejabat yang berpidato dan menyeru pendengarnya dengan panggilan ‘saudara-saudara’, atau kawan kita yang meminta pinjaman dengan membawa-bawa nama persaudaraan, tidak lain hanya untuk mangaduk rasa iba dan simpati belaka, selebihnya adalah klise. Bahkan Bonafera sekalipun menerima uluran persaudaraan Corleone hanya karena ia membutuhkan jasanya.


Di dunia yang mulai penuh dengan omong kosong ini, mengambil kata-kata seorang penyair, kata-kata sudah tak bisa mengubah apa-apa. Selanjutnya, sedikit banyak dapat dimafhumi, kata-kata mulai bergeser maknanya atau bahkan hilang sama sekali. Tapi mari yakini bersama, persaudaraan itu masih tetap ada, lebih-lebih di kalangan masyarakat Madura yang dulu menjujung tinggi nilai kebersamaan, gotong royong, dan tolong menolong antar sesamanya. Sehingga dengan demikian, saya dapat mengartikan kalau kenalan lama yang mengundang saya untuk silaturahmi itu benar-benar berniat menyambung tali persaudaraan yang sudah lama kabur sejak meninggalnya kakek buyut silam.


Saya pun tetap meyakini kalau nilai-nilai persaudaraan yang sempat ditanamkan orang tua dahulu masih tetap lestari, dan perlu. Meskipun pada kenyataannya, banyak yang salah mengartikan atau memelencengkan nilai-nilai tersebut. Meski pula, pada akhirnya saya tahu dalam undangan pertemuan yang membawa alasan pertemuan keluarga tadi, rupanya cuma jadi batu loncatan untuk mengumpulkan suara menjelang pemilu yang dilaksanakan tanggal 17 April kemarin.


Meski demikian, paling tidak saya mengartikan semua yang terjadi sebagai ayat Tuhan yang perlu dipelajari dan dicari hikmahnya. Positifnya dengan pertemuan yang diadakan itu, saudara-saudara jauh yang nyaris tak mengenal satu dengan yang lain bisa bersua, bertatap muka sambil menerka-nerka, sampai mana trah mereka mulai bersambung.


Di sisi lain, kawan saya yang mengalami hal yang serupa malah melempar kelakar. Di Madura, katanya, ada dua momen yang pas untuk mencari saudara-saudara yang sudah lama tak diketahui jejaknya. Yang pertama adalah ketika terjadinya konflik panas hingga menyeret golongan tua turun tangan. Biasanya, konflik ini dipicu oleh perkara sepele yang dinilai menyinggung harga diri seperti saling ejek, kalah judi, atau hanya lantaran pertandingan sepak bola antar kampung. Hebatnya di Madura, hal-hal macam itu berpotensi besar menimbulkan konflik nan genting, yang jika tidak segera ditangani, klimaksnya dapat berujung menjadi carok, saling bunuh satu sama lain.


Tetapi, bukan orang Madura namanya kalau tidak pandai bernegosiasi, bukan orang Madura kalau tidak bisa mengubah suatu tragedi menjadi sebuah komedi. Dalam kegentingan itu, biasanya tercipta anti klimaks yang sering dimotori oleh orang-orang tua dari kedua belah pihak, sehingga keadaan yang mulanya panas menjadi berbalik seratus dalapan puluh derajat.


Caranya sederhana, tinggal meruntut silsilah keluarga antar dua pihak yang bertikai sampai diketahui kalau ternyata keduanya masih ada ikatan persaudaraan, bahkan kalau perlu meruntut silsilah sampai turunan ke delapan. Asal bertemu ikatan, konflik dapat terselesaikan.


Kalaupun ternyata benar-benar tak ditemukan kaitan sama sekali dalam trahnya, jurus terakhir yang dikeluarkan adalah ucapan dari seorang penyair: kita anak ibu, mereka juga anak ibu. Sesama anak ibu tidak boleh saling bertengkar. Urusan selesai, saudara jauh yang lama berpisah kini bertemu. Babak baru persaudaraan pun dimulai sejak saat itu.


Yang kedua, selain di saat konflik, momen yang pas untuk menemukan kembali para saudara adalah di saat kampanye. Baik saat pemilihan kepada desa ataupun di saat pemilihan legislatif. Para calon yang bersaing di pesta demokrasi itu, jelas membutuhkan banyak suara untuk dapat mencapai hajatnya. Sehingga solidaritas persaudaraan menjadi salah satu kunci meraup suara. Karena hal itu, selanjutnya akan muncul seseorang yang tiba-tiba memotori gerakan untuk mengumpulkan kembali semua saudara-saudara jauh, saudara yang lama tak bertemu atau bahkan tak kenal satu sama lain demi tercapainya ‘cita-cita mulia’ saudara yang lain.


Sekurang-kurangnya hanya di dua momen itu persaudaraan bisa diakui. Maka, jika kamu hidup atau akan tinggal di Madura, jangan khawatir tidak menemukan saudara. “Setidak-tidaknya hendaklah mendaftar sebagai caleg, atau jika belum mampu untuk nyaleg, buatlah onar dan cari keributan. Karena dua hal itu adalah kunci. Sedang untuk tingkat kebarhasilannya, itu tergantung bagaimana bijakmu dalam menghadapi dua situasi tersebut,” pesan kawan saya tadi sebagai pamungkas.


Menanggapi kelakar itu, saya hanya mesem-mesem sendiri. Tidak perlu diambil pusing, tidak perlu dipikir serius, apalagi diambil hati. Kelakaran kawan saya, barangkali hanya bentuk frustasinya lantaran mati akal menghadapi isu-isu dan berita lucu di tengah ingar bingar pesta demokrasi nan suci kemarin. Lebih baik, menyeduh kopi saja di dapur masing-masing. Menikmatinya sambil berkumpul bersama orang-orang yang kita cinta.


Pemilu toh sudah usai, tugas kita hanya tinggal menjaga persatuan dan persaudaraan. Selebihnya mari menjalankan pesan dari orang tua: baik-baiklah terhadap saudara sendiri.


Oleh sebabnya, mari dukung kerja saudara-saudara yang sudah terpilih di pemilu kemarin dan ingatkan jika mereka melakukan hal yang salah. Begitu juga pada saudara yang gagal terpilih, mari beri bantuan dan rangkul agar tak merasa sendiri. Sebab bagi saya pribadi yang terpenting adalah bagaimana persaudaraan yang sempat ditawarkan saat masa kampanye tetap terjalin utuh. Sedikit utopis, memang. Tetapi bukankah untuk mengubah dunia perlu dimulai dari diri sendiri lebih dulu?


Omong-omong, untuk saudara yang kalah, sebagai saudara saya hanya bisa berdoa: Semoga persaudaraan ini akan langgeng meskipun saya golput saat pemilu kemarin. Amin.

Post a Comment

0 Comments