
Apa
kabar pemuda Indonesia hari ini? pernah saya dengar sepuluh orang dari mereka
sanggup mengguncangkan dunia, benarkah? Dengan apa? Mengapa bisa? Atau
jangan-jangan yang demikian hanya klise belaka, mimipi di siang bolong?!
Pemuda
Madura sendiri bagaimana? Mahasiswa UTM? Benarkah mereka pemuda-pemuda
terpelajar yang berangkat dari kampung-kampung halamannya sebagai kebanggaan
keluarga dan masyrakat. Atau hanya karena mereka tak diterima di
universitas-universitas lain yang gradenya
lebih tinggi sehingga terdampar disini? Di kampus yang Dodit bilang sumuk,
tersembunyi di tengah alas, sulit dicari, dan lelakinya seperti burik celleng?
Ah, yang
dmikian tak perlu diambil hati, barangkali itu hanya candaan Dodit sebagai
seorang komika. Tapi sepakat tak disepakati begitulah nyatanya. Kesan gersang
masih belum bisa dihapus dari muka kampus ini, dikelilingi sawah dan belum dikenal
masyarakat luas. Tak bisa hal-hal yang seperti itu untuk dipungkiri. Di Jawa
Tmur sendiri UTM tertinggal jauh di bawah kampus-kampus berstatus negeri yang
lain, jauh dari UNAIR, UB, UNEJ, ITS, dan Unesa sekalipun. Belum lagi bicara
skala nasional.
Tetapi
apakah etis jika hal demikian dijadikan alasan
oleh para mahasiswa UTM untuk tidak lebih maju dari para
mahasiswa-mahasiswa kampus hits lainnya? Mereka yang bisa berpikir jelas akan
berkata tidak dengan segudang alasan dan filosofi serta pembelaan yang runtut
dan fasih. Dan saya sepakat kepada mereka yang dengan lantang menjawab tidak
berdasar hati nurani dan keyakinan.
Saya
berteguh menilai mahasiswa dari pemikiran dan karyanya, bukan dari kampusnya.
Apakah tidak percuma jika ngampus di
universitas mentereng jika hanya menjadi pelengkap saja. Hanya jadi penyumbang
semseteran untuk kampus, tak berguna, hanya kuliah, mencari nilai dan menunggu
lulus wisuda saja. Tak punya sumbangsih sekalipun bagi kemajuan bangsa.
Apakah
tidak lebih baik dengan mahasiswa UTM yang kampusnya dibilang alas namun
berkepribadian sebagai manusia yang benar-benar terpelajar. Yang berpikir akan
kemajuan bangsanya secara luas, yang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri. Tetapi
yang jadi masalah adalah, apakah benar mahasiswa UTM demikan adanya? Atau
setidaknya beberapa ada yang demikian? Sayang sekali jika tidak ada. Sudah
kampusnya dipandang minus, mahasiswanya pun minus juga. Sebuah pertemuan minus
yang tak menghasilkan sesuatu yang positif.
Sayang
sekali jika mahasiswa UTM lebih memilih semalaman begadang untuk ngopi, bermain
kartu, bicara ini-itu, sesuatu yang tak lebih penting dari pada mendiskusikan
pelajaran atau sesuatu yang lebih berguna. Sayang sekali jika mereka lebih
menenggelamkan dirinya kepada hal-hal yang tak lebih bermanfaat dari pada
membaca buku dan berbagi ilmu. Refreshing
yang keterlaluan. Dan sesuatu yang berlebihan tentulah tak baik adanya.
Jika begitu
adanya kapan UTM memiliki daya saing yang sepadan dengan UNAIR sementara
mahasiswanya terlena dengan lambaian warung kopi dan goyangan gadis-gadis Graha
Kamal? Kapan UTM menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas unggulan?
Kapan UTM bisa memberi sepuluh orang pemuda yang bisa menggocangkan dunia?
Tak
tahu mengapa tiba-tiba saya teringat sebuah roman klasik, Ketika katak Hendak Menjadi Lembu. UTMku sayang, hendak berbenah
setengah mati untuk menjadi kampus yang maju. Kampus yang dikenal masyarakt
luas, yang tak dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekelilingnya.
Namun,
adakah UTM bisa maju apabila minat baca-tulis di kalangan civitas akademikanya
amatlah rendah? Tidakkah UTM bisa dikenal masyarakat luas hanya dengan satu-dua
prestasi yang di dapat oleh satu-dua mahasiswanya, kemudian dielu-elukan,
sedang beribu lainnya tak bersumbangsih apapun, tenang- tenang di kamar kos
sambil menonton video porno? Adakah UTM tak akan dipandang sebelah mata
sementara prestasi-prestasinya masih jauh tertinggal apabila dibandingkan
dengan kampus-kampus lainnya, dan apa pula yang sudah kampus ini sumbangkan
untuk kemajuan bangsa?
Ah,
mahasiswa UTM, apa kabar? Semoga tetap semangat belajar, menimba ilmu di kampus
tercintanya. Sebab semakin santer kabar yang saya dengar, kalau dunia makin
kejam belakangan ini. zaman makin keras. Tak peduli apa gelarnya, jika tak
cakap benar hanya tetap akan menjadi kuli, kuli!
0 Comments