30 tahun
perayaan kekuasaan seorang presiden disiarkan dengan megah di televisi
nasional. Dalam bidikan kamera, presiden berjalan bersama istrinya dengan
gestur tangan seperti tengah melambai pada seorang anak kecil.
Isti
presiden yang tampak semakin gemuk memakai riasan megah dan gaun rapi yang
seolah tak ada satu rambut pun berada tidak pada tempatnya. Kamera terus
mengikuti langkah kedua orang itu sampai istri presiden berkata, “Suamiku
bekerja begitu keras sampai aku harus memaksanya agar mau beristirahat
sebentar. Syukurlah negara ini berjalan dengan baik. Rakyat sangat bersyukur.”
Mohamed
melihat ibunya terkantuk-kantuk di depan tayangan itu. Adiknya, Yassine
menunjukkan nilai hasil sekolahnya pada Mohamed. Yassine tertawa dan berterus
terang tentang keadaannya, ia sudah bosan bersekolah. Baginya, sekolah tak lagi
berguna, “Kau sudah mengalaminya sendiri –dulu kau belajar gila-gilaan, tapi
tak bisa mendapat pekerjaan. Dan sekarang kau bekerja dengan memakai gerobak
ayah.”
Mohammed
adalah tokoh utama dalam novella ini. Ia seorang sarjana yang menganggur.
Sempat ia bersama para sarjana lain yang belum juga mendapat pekerjaan aktif
mengkritisi pemerintah dan turun ke jalan. Sampai pada akhirnya Mohamed merasa
pada titik puncak kecemasan, ayahnya mati dan ia sebagai anak pertama
menanggung tiga saudara lelaki dan dua saudara perempuan, serta seorang ibu
yang diserang penyakit diabetes.
Tokoh
kita ini selanjutnya memutuskan untuk berhenti melakukan aksi protes di depan
Kontor Kementrian Keuangan. Beberapa kawan seperjuangannya memang sudah
mendapat pekerjaan, namun sampai berusia tiga puluh tahun, Mohamed masih tetap
mengaggur. Baginya, permasalahan ini bukan perkara keberuntungan semata.
Katanya ini lebih pada persoalan ketidakadilan yang sialnya menjangkiti
orang-orang miskin semacam ia.
Sebagai
lulusan sejarah, sebenaranya Mohammed bisa saja menjadi pengajar, namun sampai
saat ini Kementrian Pendidikan belum juga membuka lowongan untuk para pengajar.
Dliputi kecemasan, ia mengambil satu langkah yang mengubah hidupnya ke depan.
Ia membuka tasnya, menumpuk dokumen penting dan ijazah, kemudian membakarnya.
Ini adalah pilihan yang dilakukannya sebagai lelaki.
Memakai
gerobak peninggalan ayahanya, ia berjualan buah sambil berkeliling. Tetapi,
bisnis kita tahu memberi banyak tantangan bagi orang-orang baru. Mohamed sulit
menemukan pelanggan dan tempat yang strategis untuk berjualan. Semua orang
dalam kesulitan dan butuh uang, Mohamed kelimpungan.
Belum
lagi tekanan dari pihak kepolisian yang menjadi teror tersendiri buat Mohamed.
Teror itu makin bertambah manakala pihak kepolisian memberikan tawaran
sekaligus anacama padanya. Ia dipaksa menjadi informan untuk memata-matai
pergerakan ‘Sarjana Pengguran’, organisasi tempat dulu ia aktif menyuaraka
protes. Pilihannya hanya dua, ia menerimanya dan kehidupannya sedikit lebih
aman, atau monolaknya lalu berkata selamat tinggal pada usaha yang baru ia
rintis.
Mohamed
kukuh menghindari polisi pada keesokan harinya. Hasilnya bisa ditebak, ia
dihajar habis-habisan dan gerobaknya disita oleh polisi. Mohammed menuntut
keadilan. Berulang kali ia ke balai kota berusaha menemui wali kota.
“Kau
pikir akan dengan mudah bertemu wali kota begitu saja? Kau kira dirimu siapa,
apa kau orang kaya? Apa kau orang pentinga?” hanya hardikan dan pengusiran yang
diterima Mohamed.
Keesokan
harinya, ia mencoba melakukan hal yang sama: menemui wali kota. Hasilnya sama,
nihil. Dipuncak keresahannya, Mohammed berusaha melawan. Tubuh, hanya tubuh
yang ia punya sebagai senjata. Di kantor wali kota, ia siramkan bensin ke
seluruh tubunhnya. Sekilas terbayang wajah ibu dan saudara-saudaranya,
terbayang Zainab, kekasihnya. Kematian ayahnya, hinaan, pukulan, cacian yang
didapat selama hidupnya. Mohamed membakar dirinya sebagai bentuk perlawanan.
Ia mati
dan menjadi martir. Kematiannya menjadi pemantik sebuah peristiwa yang mengubah
hampir seluruh wajah arab. Gerakan yang diknal dengan sebuatan arab spring
menggelora di jaziarah arab. Mohammed menjadi simbol perlawanan terhadap
kesewang-wenangan pemerintah yang tak berpihak pada rakyatnya.
Tahar
menulis kisah ini berdasrkan kisah nyata seorang pemuda Tunisia, Mohamed
Bouazizi, yang membakar tubuhnya. Peristiwa yang menjadi pemantik arab springs
ini, membuat dunia terkejut. Para despot dilengserkan dari kekuasaannya.
Bermula dari Tunisia, Mesir, dan Libya. Semangat demokrasi mulai tumbuh di
Timur Tengah meski belum jelas tujuan dan arah yang akan dibawanya.
Gerakan
arab springs yang sering disebut revolusi anggrek, bagi Tahar adalah sebuah pemberontakan.
Penggunaan kata revolusi, harusnya menjadikan gerakan tersebut tersusun secara
sitematis, terorganisir, dan memiliki rencana-rencana alternatif serta
penawaran solusi kedepannya. Yang demikian tidak terjadi dalam gerakan yang
mekar di Timur Tengah pada 2010-2011 tersebut.
Selain
mendukung demokrasi dan menentang pemerintahan oligarki, Tahar yang lahir di
Prancis dan tumbuh di Maroko ini, menulis kisah mengenai arab spring sebagai
bentuk penghargaan bagi semua manusia yang mati lantaran memperjuangkan
kebenaran yang diyakini. Baginya, setiap kematian manusia harus dikenang dan
diperhatikan. Manusia-manusia mati itu punya nama, punya keluarga yang berduka
lantaran ditinggalkan.
Ia
mengkritik pemerintahan diktartor yang dengan mudah menghilangkan nyawa setiap
manusia. Tahar melihat dalam model pemerintahan semacam itu, kematian hanya
diakaui dan diperhatikan hanya apabila orang kaya atau orang berpengaruh saja
yang mati. Sementara untuk orang-orang kecil, syukur-syukur jenazahnya bisa
dikebumikan dengan layak.
Sebuah
bacaan ringan yang dapat diselesaikan sekali duduk. Enam puluh tujuh halaman di
dalamnya termasuk juga wawancara penulis terkait latar belakang kepenulisan
buku ini dan kaitannya dengan perisiwa arab springs. Sebuah buku yang memberi
cukup wawasan dan pembelajaran, terlebih, kondisi sekitar yang juga tengah
terjadi sedikit banyak memiliki kesamaan dengan ironi-ironi yang ada di novella
tersebut.
Judul buku : Dalam Kobaran Api
Penulis : Tahar Ben Jelloun
Penerjemah : Nanda Akbar Ariefianto
Penerbit : CIRCA
Cetakan : Pertama, Juni 2019
Halaman : 68 halaman
0 Comments