Surat Terakhir


“Kau apa kabar di sana? Di sini aku dikejar penasaran. Tolonglah, ceritakan padaku sedikit saja tentang kotamu,” hanya kalimat itu yang kuhapal dari suratmu. Hanya beberapa patah kata dari sebelas lembar surat yang saat ini tergelatak di meja kamar.

Hampir setiap sore atau sebelum tidur kubaca ulang surat-surat darimu. Kau berceita tentang indahnya Paris dan segala yang menggangu pikiranmu tentang kota itu. Apa lagi, ah, kau juga bercerita tentang rekan kerjamu yang menjengkelkan dan tak ketinggalan tentang Sorbone, altar pengetahuan sebagaimana yang diagung-agungkan Andrea Hirata di novelnya. Kau semakin pandai bercerita, rupanya.

Dalam surat terkahir ini, kau bilang kabarmu baik, oleh sebab itu kau berharap aku juga baik-baik di kota ini. kau bilang kau rindu Jakarta, tempat kali pertama kita bertemu. Rindu sate Madura dan nasi Padang. Ah, suratmu kali ini begitu panjangnya. Aku menikmati cerita-cerita yang kau tulis di dalam sana, tapi yang paling kuhapal dan begitu mengganggu pikiranku adalah pertanyaanmu yang jadi penutup surat itu. Pertanyaan tentang kabarku dan tentang kotaku.

“Nanti aku kirim surat dari Prancis, ya,” janjimu setahun yang lalu.

“Zaman sudah canggih, ada banyak medium buat berkirim pesan. Kenapa harus pakai surat segala?”

“Kamu bilang, kita harus bergerak melawan arus, ini usahaku untuk melawan arus. Lagi pula, berkirim kabar lewat surat, katamu lebih banyak memberi sensasi tersendiri,” senyummu mengembang dan cepat berlalu menuju pesawat yang menunggu. Senyum itu, senyum paling renyah yang bisa kulihat untuk kali terakhir.
*
Kutengok arlojiku yang menujukkan pukul sepuh lebih lima belas menit. Udara kamar terasa pengap. Sudah akhir bulan September, tapi hujan belum juga mau turun. Sisa rokokku hanya tinggal dua linting. Kabar buruk, semalaman ini dapat dipastikan mulutku terasa hambar kekurangan asupan kretek.

Jendala kubuka lebar-lebar. Di kejauhan masih ada kobaran api. Seorang tentara kulihat di seberang jalan rumahku. Kutanya padanya barangkali ada toko yang masih berani berjualan di dekat-dekat sini. Dia hanya tersenyum dan menawarkan rokok padaku.

Sudah berhari-hari semua toko tutup di kota ini. Sejak aksi demonstrasi besar-besaran yang berujung bentrok antara demonstran dengan aparat keamanan, suasana kota jadi mencekam. Banyaknya aparat keamanan yang berjaga, bukannya memberi rasa aman malah membuat kota semakin tegang.

Di kota ini, entah sudah berapa banyak rumah-rumah dibakar. Tak hanya rumah, gedung-gedung pemerintahan juga ikut dibakar. Semua saling curiga. Di masa seperti ini, seperti kata seorang penulis, tak ada mata yang enak dipandang.

Aku masuk ke kamar dan kembali membaca surat darimu. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan lagi. Jaringan internet bermasalah, entah apa sebabnya. Sedang koran-koran sudah tak bisa masuk ke kota ini. Dari bisik-bisik anak muda, sempat kudengar ini ulah pemerintah di Jakarta demi menjaga kestabilan negara, katanya.

Ada pula kudengar kabar kalau di kota-kota besar, khususnya di Jakarta para mahasiswa kembali turun jalan. Aku masih belum begitu mengerti apa yang mereka tuntut. Yang kutahu, di kota ini tak lagi kutemukan damai dan tenang. Suasana mencekam, seperti kota yang dilanda perang.
*
Di masa-masa seperti ini, sesekali aku mengingat bagaimana pertama kali kita bertemu di Stasiun Senen. Di tengah teriknya kota Jakarta, kau bertanya arah Kwitang.

“Mau beli buku, Mbak?”

“iya,” katamu.

“Bareng aja sekalian. Saya juga mau ke sana. Oh, iya, saya Dimas,”

“Ratih,” katamu menyambut uluran tanganku. “Kerja atau kuliah?”

“Oh, ini lagi training di daerah Pulo Gadung. Kamu?”

“Cuma main ke rumah saudara, saya dari Sumatra. Habis wisuda, nganggur main-main ke sini,” begitulah kita mulai saling mengenal. Bertemu di Senen, berjalan ke Kwitang. Aku menemukan Heart of Darknes-nya Conrad, sedang kau lebih tertarik pada novel milik Karl May.

Sesedarhana itu pertemuan kita, sesederhana itu pula kita mulai jatuh cinta. Satu bulan di Jakarta kita bercerita banyak hal, cerita tentang buku adalah hal yang begitu sering kita bicarakan. Tetapi, kau selalu menolak saat aku bercerita tentang kekejaman manusia. Kau menolak aku melanjutkan ulasanku mengenai Heart of Darknes.

“Ada banyak keindahan di dunia, ada banyak kebajikan yang dilakukan manusia. Mengapa harus memilih bacaan-bacaan horror semacam itu?” protesmu.

Sudah berapa lamakah kenangan itu? Ah, hanya sebulan kita bersama. Kau pulang ke Sumatra dan melanjutkan studi ke Prancis. Sedang aku ditempatkan di Surabaya sebelum pada akhirnya dipindah ke kota ini. Kota yang begitu sunyi malam ini.

Kubakar kembali selinting rokokku yang terakhir. kuambil kertas, kau pasti menunggu balasan suratmu dengan cemas. Haruskah di surat ini kujawab pertanyaanmu. Haruskah kuceritakan bagaimana kotaku saat ini? Kota yang penuh api dan tentara berjaga, kota yang ngeri dan amis bengis. Aku takut kau tak suka membacanya, aku taku kau kecewa.

Lima menit berlalu, belum ada satu kata pun dapat kutulis. Rokokku sudah habis. Kubaca lagi suratmu sampai habis. Kuambil lagi pena dan tiba-tiba, suara letupan membuatku batal menulis huruf pertama di kertas yang kosong. Letupan itu terdengar lagi. Orang-orang mulai menjerit dan terdengar banyak langkah kaki berhamburan bersama letupan-letupan itu.

Aku tak tahu apa yang terjadi di luar. Yang kutahu, api-api mulai mengepung ruangan. Aku mulai sadar saat ini, suratmu tak perlu sebuah balasan dariku, kau pasti akan segera menemukan jawab dari pertanyaan di akhir surat yang sebelas lembar itu.

Sekret, Oktober 2019

Post a Comment

0 Comments