Semua bermula dari ketidaksengajaan, ketika tokoh utama dalam novel ini tengah membetulkan jam tangannya di Al-Mahdi, ia mencoba membunuh rasa bosan dengan melihat pernak-pernik di ruang etalase kedua sisi jalan. Di saat itulah, untuk pertama kali ia menemukan kafe kecil yang berada di ujung jalan raya, kafe yang kemudian akan dikunjunginya hampir setiap hari, Kafe Karnak.
Di kafe itu, ia menemukan sebuah hal ganjil yang menarik perhatiannya, satu hal yang dengan cepat menjadikan kafe ini sebagai tempat favaorit menghabiskan waktu luang yang ia punya. Tidak lain karena Qurunfula, mantan penari yang pernah jadi idolanya di masa remaja. Qurunfula menjadi sebuah dorongan magis yang membuatnya merasa aneh sekaligus bahagia untuk selalu datang ke sana.
Dan siapa yang akan mengira, Qurunfula, sosok perempuan yang menjadi idola di seluruh Mesir pada tahun 40-an, dengan kecantikan yang masih nampak, mengampiri si tokoh utama. Qurunfula menyambutnya dan dengan segera mengenalkannya pada beberapa orang di kafe tersebut.
Sejak saat itulah, ia menyadari kalau kafe tersebut merupakan tempat berkumpul orang-orang provokatif yang berpandangan ekstrem. Di sana ada Arief Sulaiman, seorang bekas menteri yang terjerat kasus korupsi lantaran gaya hidupnya, konon ia berusaha tempil glamour untuk memikat Qurunfula. Arief Sulaiman yang kini berperwakan tambun dengan rambut yang memutih, bekerja untuk Qurunfula sebagai penyaji minuman di Kafe Karnak.
Selain itu, diperkenalkan pula padanya para pemuda di yang berbicara perihal politik dengan semangat yang membara. Mereka adalah Hilmi Hamada –pemuda ini selain cakap, juga telah menarik hati Qurunfula, Ismail Al-Syeikh, serta kekasihnya, Zainab Diyab. Kehidupan di kafe itu berjalan begitu membara, para pemuda yang begitu antusias berbicara tentang politik, tentang langkah-langah yang harus diambil, dan tentang idealisme di kafe itu. Di lain waktu, para pemuda harus bekeliaran di jalan-jalan atau bersembunyi di gang-gang untuk menuntaskan jalan revolusi yang mereka yakini.
Pemuda-pemuda itu, dalam novel ini disebut sebagai anak kandung revolusi. Kekaguman terhadap revolusi merebak di seluruh mesir sejak digulingkannya Raja Faruq. Namun, sebagaimana adigum lama, revolusi selalu meminta pengorbanan. Dalam novel ini, dikisahkan beragam usaha-usaha mempertahankan revolusi, pencarian bentuk pemerintahan dan ideologi yang ideal, serta kisah lain di balik revolusi tersebut.
Novel ini berfokus pada kehidupan masyarakat Mesir yang semakin berkelumit pasca kalahnya Mesir pada perang melawan Israel tahun 1967. Kelimbungan, kecurigaan satu dengan yang lain, serta ancaman-ancaman lainnya mewarnai kehidupan masyarakat di kala itu. Secara garis besar, Najib menggambarakan kacaunya situasi tersebut melalui jalan hidup empat tokoh di dalam novel ini, Qurunfula, Hilmi Hamada, Ismail Al-Syeikh, dan Zainab Diyab.
Novel yang diselesaikan pada tahun 1967 akhir ini, tak lain buntut dari beragam peristiwa yang menimpa negara itu. Najib Mahfuz seperti memberi perenungan tentang beragam hal, tentang kebanggaan revolusi yang nampak hilang pasca perang enam hari di Sinai, tentang peran intelektual, tentang pemerintahan yang ideal, dan beragam perenungan yang mesti dipikir matang-matang oleh masyarakat Mesir kala itu.
Roger Allen yang menulis kata penutup untuk novel ini memberi kesimpulan, meski novel ini merujuk pada salah satu peristiwa di Mesir pada abad keduapuluh, novel ini juga cocok menggambarkan situasi genting negara-negara lain di Timur tengah pada tahun-tahun berikutnya.
Judul Buku: Karnak Cafe
Penulis: Najib Mahfudz
Penerjemah: Happy Susanto
Penerbit: Pustaka Alvabet
Cetakan: Pertama, 2008
Halaman: 180 halaman
0 Comments