(Masih Tentang) Mahasiswa



Hasil gambar untuk soe hok gie hal pertama yang dilakukan adalah
Mahasiswa, sampai saat ini saya masih sangsi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah itu. Sebut saja pertanyaan remeh macam siapakah mahasiswa itu, apakah yang harus dilakukan oleh para mahasiswa, apa saja bedanya mahasiswa dengan orang-orang yang tak menyandang gelar itu, dan apakah mahasiswa memiliki peran penting dalam kehidupan sosial? Beberapa jawaban yang saya terima sebenarnya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pemikiran awam di atas, namun agaknya kejanggalan masih terasa bagi saya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa mahasiswa adalah orang yang menuntut ilmu di perguruan tinggi, beberapa orang mengartikan mahasiswa adalah media dari aspirasi rakyat, penyambung lidah rakyat. Ada pula yang mengatakan bahwa mahasiswa adalah seorang akademisi yang bisa melakukan sesuatu sesuai dengan teori dan metode-metode yang baik dan benar. Namun, tak sedikit pula yang berkata bahwa mahasiswa hanyalah sampah, badut-badut bodoh yang mudah dimainkan, orang-orang muda yang menghabiskan harta orang tuanya hanya untuk menunda gelar sebagai penganggur. Sebagai seorang (yang masih juga bisa disebut) mahasiswa saya hanya bisa mengelus dada, bersistghfar dan berkata, amit-amit jabang bayi mengenai pernyataan tersebut.
Saya tak memungkiri bahwa mahasiswa saat ini jauh dari apa yang disebut sebagai mahasiswa ideal. Mahasiswa yang mempunyai prinsip dan berpegang teguh pada ideologinya,. Mahasiswa yang hidup sebagai manusia merdeka, yang berdiri di atas kaki dan pemikiran sendiri.
Sepanjang yang saya temui, mahasiswa hanyalah sekumpulan manusia yang masuk universitas dengan harapan dan mimpi untuk mendapat gelar serta pekerjaan. Tak dapat disangkal sebagian besar dari mereka tidak menjadikan ilmu dan pengalaman sebagai orientasinya. Ada pula yang kuliah hanya untuk menyelamatkan mukanya, gengsi menganggur namun malas bekerja. Datang ke kampus, mendengar dosen memberi mata kuliah yang entah akan berguna atau tidak kemudian pulang, berlalu begitu saja. Sebagian lainnya hanya mengikuti kehendak orang tua, pikirnya menuruti apa kata orang tua adalah suatu kewajiban. Ada juga yang berprinsip mengikuti arus kehidupan, padahal hanya ikan mati yang akan terbawa oleh arus. Sisanya adalah mereka yang mencoba ideal, mencoba menjadi diri mereka sendiri, mencoba lepas dari tatanan yang tak sesuai menurut hatinya. Sayangnya, yang demikian bisa dihitung oleh jari.
Mahasiswa saat ini terlalu terpana akan kejayaan para pendahulu yang ‘katanya’ telah berhasil menggulingkan kediktatoran dan membuka jalan kebebasan. Sehingga sedikit-sedikit berkaca pada peristiwa yang lalu. Sebagian dari mereka abai, dan tak menyadari apakah ‘kemenangan mahasiswa’ yang lalu itu benar-benar kemenangan untuk rakyat di masa yang akan mendatang?
Adalagi mahasiswa yang terlalu fanatik pada golongannya, sedikit-sedikit berargumen atas dasar dari doktrin yang dicekokan pada ia di organisasinya, seringnya mereka tak menerima setiap argumen yang menentang doktrin tersebut. Pokoknya apa yang di ungkapkan golongannya selalu benar, dan kebenaran yang dungkap rival dimakzulkan atau dipandang sebagai pencitaraan. Fanatisme buta begitu berbahaya, memang.
Saya melihat hal ini sebagai akibat dari krisis identitas yang menimpa kalangan mahasiswa. Orang muda di zaman kini terlalu dimanja oleh kepraktisan dan teknologi. Sehingga sifat malas amat lekat pada diri mereka (mungkin kata yang tepat bukan mereka, tapi kami. Sebab, saya juga termasuk didalamnya). Orang muda di zaman kini terlalu dibuai oleh aneka kegiatan menarik hati yang nyatannya kurang bermanfaat. Waktu belajar dihabiskan untuk bermain-main tak jelas. Hingga dasar-dasar mereka amat minim dibidang keilmuan serta buta akan keadaan sosial di sekitar.
Akibatnya, jadilah orang-orang muda itu sebagai mahasiwa yang mirip pohon bambu yang ketika angin berhembus ke barat ia kan bergerak condong kebarat, begitu pun jika angin bertiup ke timur. Sebab dasar pengetahuan yang tak kuat, para mahasiswa hanya menerima doktrin-doktrin yang dicekokkan kepadanya tanpa bisa menyaringnya, memilahnya dan menimbangnya dengan baik. Jadilah para mahasiswa-mahasiswa tersebut manusia teladan dengan prinsip yes, Sir! Asal tuan senang.
Dengan keadaan yang seperti itu, saya mempertanyakan trifungsi mahasisiwa. Adakah tiga kalimat tersebut berhasil dijalankan oleh para mahasiswa sebagimana mestinya? Atau hanya tinggal kalimat kosong, pemanis yang di pajang di buku-buku pedoman mahasiswa baru?
Di masa yang seperti ini, masihkah mahasiswa pantas disebut penyambung lidah rakyat? Ah barangkali hanya saya saja yang terlalu pesimis sebab pergaulan yang kurang,.mungkin juga hanya kebetulan mahasiswa-mahasiswa yang saya temui kurang meyakinkan bagi saya. Mungkin saja diluar lingkup kehidupan saya ada banyak mahasiswa-mahasiswa yang tetap berdikari, yang sebagaimana dikatakan Soe Hok Gie, berdiri seperti pohon oak yang berani menentang angin.
Di kamar VVIP, for Mr. President only pada 28 Oktober.

Post a Comment

0 Comments