Tentang Langit dan Bumimu


Aku menghela nafas sesakku pagi ini. Nyatanya sejuk embun dari daun-daun dan rerumputan belum bisa meyejukkan gelisah hatiku yang kian panas gelisah.
Jiwaku resah, bahkan angin tak dapat merasai betapa isyarat yang di lepaskan sanubariku mengenai gundah dan sepotong kecewa. Makin tenggelamlah aku dalam keterasingan yang tak satu pun damai enggan mendekat. Semakin erat hampa mendekap, pengap!

Lelah memang, tapi seperti yang orang kata. Aku tetap bertahan karena aku sayang. Entah kalau begini siapa yang harus di salahkan, siapa yang egois, dan siapa yang harus memahami. Notabene kita sama-sama mencintai. Aku mencintaimu dan kau masih saja mencintai dia.
Perih memang, tapi perihku bukan karena cintamu padanya yang tak jua luntur-luntur. Aku hanya bingung, mangapa kau terima diriku sedang jelas-jelas hatimu masih untuknya. Sungguh, apalah artinya kau kecup bibirku kalau hatimu masih erat mendekap namanya?

Mari, sayangku. Dekat padaku, rincilah semua. Jelaskan apa yang perlu di jelaskan. Aku lelaki dan seperti pula pohon pisang yang pantang dua kali berbuah. Aku lelaki seperti yang Iwan kata; Aku bukan pilihan. Kau tak perlu meilih aku atau dia. Sebab tak ada dua cinta dalam satu hati, seperti tak adanya dua Tuhan dalam satu wujud.

Akhirnya aku paham dan mengerti. Kau hanya iba dan simpati pada pengorbananku, kau tak pernah benar-benar mencitai aku, karena cintamu tetaplah dia. Namun bagaimanapun, aku ikhlaskan semua. Cintaku tetaplah padamu. Dan kau harus ingat, seindah apapun langit yang kau damba itu, bumilah yang menjadi tempat terbaik untukmu pada akhirnya.

Post a Comment

0 Comments