Sedikit Cerita Dari Rumah Kos



dalam gambar: Ndol; Rejeki anak Sholeh


Hampir tanggal 17, hampir tiga bulan saya ngekost di sebuah bangunan yang lebih mirip penjara dengan kamar-kamar yang tak jauh beda ala sel tahanan. Belasan kamar yang saling berhadap-hadapan, panas, pengap dan masyaallah sulitnya mencari jaringan internet. Sekarang tanggal tiga belas, empat hari lagi pak kost mulai menagih uang sewa. Dan di saat-saat seperti inilah teman-teman kost (sebut saja persaudaraan rindu mama) mulai harap-harap cemas dan mencoba ‘mengakrabkan diri’ dengan bapak pemilik kostan. Maklumlah, dunia ini kan panggung sandiwara. Munafik sedikit tak jadi masalah, bukan?
Masalah keuangan memang masalah yang membuat pening kepala, siapa bilang kalau bujangan akan tetap senang hatinya walaupun uang tak ada? Sumpah demi apapun hal itu sungguh-sungguh menyesatkan, klise, omong kosong!
Kebetulan yang sangat tidak menyenangkan. Saya in the gank sama bokeknya minggu ini. Rata-rata uang yang tersisa di dompet kami kurang dari dua puluh lima ribu rupiah, sedangkan kiriman dari orang tua belum jelas tibanya. Di saat seperti inilah tingkat kesensitifan sesorang dapat di ukur. Hal remeh bisa menjadi pertengkaran hebat. Senggol bacok istilahnya. Dari hal ini akhirnya saya dapat mengerti mengapa para istri suka marah-marah tak jelas ketika suami datang tanpa uang. Saya pun mafhum dan mulai memaklumi tingkat omelan Mama yang meningkat drastis saat perekonomian keluarga tengah seret-seretnya. Rasanya tingakat kepuasan serta kelegaan hati seseorang di masa seperti ini amat bergantung dengan jumlah uang yang mereka punya.
Hampir tak ada bedanya, lelaki yang pening sebab uang tak ada dengan perempuan yang tengah dilep. Mereka adalah singa-singa lapar. Tak baik mengusik mereka. Biarkan mereka sendiri, atau datang ketika memang membutuhkan.
Alangkah gentingnya suasana kost apabila kantong dan dompet para penghuninya tengah kering dan tipis. Salah sedikit, anjing keluar. Mereka yang tak mengerti akan bertanya-tanya dan merasa anah dengan tingkat ketersinggungan yang tiba-tiba naik berkali-kali lipat serta mood yang labil bagai cuaca menjelang pancaroba.
Namun ada hal menarik yang baru saya sadari. Mereka yang tengah dilanda krisis keuangan (persaudaraan Rindu Mama khususnya) memiliki sikap yang berbeda-beda. Saya misalnya, ketika uang tak ada entah mengapa selalu sinis kepada orang-orang. Rasanya ingin menyendri saja, orang-orang yang ada disekitar seakan menjadi perusak hari saja, perusak mood dan penambah kebisingan. Lelucon yang mereka suguhkan bagai sampah yang memuakkan. Ketika saya tak ada uang, saya hanya butuh kesunyian. Ya, setidaknya dengan hal itu gejolak batin sebab nihilnya uang di dompet agak sedikit mereda.
Berbeda dengan Ndol, kawanku yang satu ini terlalu banyak mengeluh mengenai hidupnya. Tak ada rokok curhat, ketemuan dengan cewenya curhat, galau curhat. Menjijikan, bukan? Namun ketika habis uangnya ia berubah seperti ibu-ibu yang kurang sentuhan lelakinya. Sedikit-sedikit ia mengomel, dari masalah sandal, sabun sampai deodorant tak habis mulutnya mengomel-ngomel tak jelas. Dan yang paling terasa imbasnya adalah Fauzen, teman sekamarnya. Saat Ndol tak punya uang, apapun yang dilakukan Fauzen tak pernah benar di mata Ndol.
Fauzen sendiri hanya akan diam, merenung jika tak punya uang. Lain cerita dengan Roy, entah mengapa Tuhan menciptakan manusia macam dia yang jika tiada uang jahilnya tak ketulungan. Ada saja cara dia untuk membuat orang menjadi malu karena ulahnya. Leluconnya jelas,menusuk harga diri. Satu kata yang tepat untuknya, sialan!
Ada-ada saja sikap ciptaan Tuhan yang terdampar di sebuah kostan menghadapi peningnya masalah yang menimpa. Apapun itu, saya cukup menikmatinya. Sikap-sikap mereka adalah hiburan tersendiri bagi saya, dan akhirnya saya merasai betapa hidup adalah tentang segala lelucon, namun sayang banyak diantara kita yang tak menyadarinya.
Saya berpikir betapa layaknya untuk mentertawai hidup. Melihat manusia-manusa dengan segala masalahnya. Melihat ruwetnya manusia sampai sadar betapa saya juga manusia yang di piker-pikir lucu juga saat kepala pening memikirkan ini itu.
Malam sudah lewati puncaknya. Saya ingat Ndol pernah berkelekar, “andai saja, Ju. Saat kita berhasil ngalahi malas dan shalat tahajjud, pas uang satu koper jatuh dari langit di atas sajadah saat kita berdoa. Duh betapa makmur hidup anak kost yang beriman kalau hal itu benar-benar terjadi”
Satu lagi yang bisa sayan simpulkan, orang seperti Ndol saat tak punya uang imajinasinya begitu keterlaluan.