penat |
Gelombang-gelombang menari
sunyi berhembus, angin yang
menyelimuti badan
Malam yang penuh rahasia
merangkak di dinding-dinding
kelam,
mata yang dipakasa terjaga
memata-matai mata waktu.
“Satu batang lagi!”
Di ujung malam
sebelum waktu berhenti
dan puisi benar-benar tak
berarti.
Lara
Kekasih
Biarkan aku menjilati lukamu,
kekasih
Kau yang lara hendaknya
mendekat padaku
Biar ku peluk, ku kecup
matamu
Dan ku hapus bulir lara itu
di pipimu
Kau adalah bagian dariku
Sumpahku padamu mengikat
cinta
Pada laramu yang jadi lukaku
Dan dukamu yang menjadi
perihku
Maka jangan kembali kau
bersusah hati
Sebab sebelum hujan singgah
di bumimu
Kasihku kan sedia menjadi
gelombang
Membasahimu setulus ku bisa
Juga sebelum mentari menguapi
laut garammu
Dan menyelimuti
tembakau-tembakau di dadamu
Kan ada cintaku yang memijar
sekuat hati
Memberi hangat pada setapak
tanahmu
Kekasihku, kau yang tumbuh
mekar di hatiku
Kaulah semata wayang
Semesta yang tak habis ku
doakan
Untukmu semerbak nama yang
mewangi
Mari, sayang
Jalan selangkah-selangkah
denganku
Sebelum tiba ajal mendera
jasad
Sebelum terbenam aku dalam
pelukmu yang abadi
Aku Pulang
Kalau gemintang tak lagi di percaya
Kemanakah angin harus berpandu
Sedang ilalang hanya memagut-magut sepi
Dan malam terbaring mengeja syahdu
Gulita ini
Semoga kepak kedasi tak merundung lara
Biar tumbuh siwalan di bumi moyangku
Biar dia membaca tanah kapur
Dan mengeja padang ilalang yang subur
Oi kemanakah Tanya terjawab
Di rimba rembulan pudar
Sunyi pun berjingkrak
Dan berseru padaku;
Kau tersesat, nak
Hembus ku hembus malam
Di pelabuhan sunyi berpaut
Hening terpaku
Dan Tanya tak lagi terjawab
Patahkah harap?
Terlalu lama aku berjihad di jalan
bingung
Hingga perlahan sunyi mulai bangkit
Dan pelan berbisik;
Pulanglah!
Sudah terlalu lama kau mengembara
Iya!
Gontai langkahku memecah hari dini
Sambil bersijingkat
Dzikirku:
Ibu, ibu aku pulang