
Bagaimana jika realitas menghilang dari pandangan kita? Bukan
menghilang kedalam ketiadaan tetapi kedalam sesuatu yang lebih nyata dari
kenyataan?
Kita hidup di zaman yang sulit untuk menemukan realitas yang aktual.
Informasi yang dibuat terikat oleh kepentingan kapital. Maka jika bertanya
kemana realitas itu menghilang? Barangkali jawabnya ke kantong-kantong kaum
kapital.
Bagaimana kalau dunia komunikasi modern, hiper komunikasi, telah
menceburkan kita, bukan kedalam chaos tetapi ke dalam kejenuhan makna yang maha
hebat yang seluruhnya termakna oleh kesuksesannya sendiri tanpa permainan,
tanpa rahasia atau jarak?
Kita semua sudah sepakat bahswasannya kita tengah berada di dalam masa
dimana arus pertukaran komunikasi yang paling diandalkan adalah kecepatnnya.
Semakin cepat suatu informasi akan semakin bagus dinilainya. Hal yang demikian
terus berangsur-angsur terjadi. Sehingga suatu hal yang banyak dilupakan, disamping
cepatnya arus informasi yang berkembang, ada hal negatif yang turut pula
menyertainya. Adalah makna yang semakin kabur apabila informasi yang diterima
dan sebarkan begitu saja dengan. Komunikasi yang seperti ini mutlak, perlahan
namun pasti akan menimbulan sebuah chaos.
Dalam tuntutan zaman, keadaan yang seperti ini jelas akan terus
berlangsung. Berangsur-angsur, terus-menerus. Komunikasi yang mengesampingkan
makana, menimbulkan chaos, perlahan
mulai disadari oleh masayarakat sebagai suatu kebiasaan yang mula-mula
dimaklumi. Mereka insyaf akan arus infomasi yang ditrerimanya. Dan amat manusiawi,
keadaan yang berkembang seperti akan menimbulakan kejenuhan yang maha hebat
dikalangan masyarakat.
Sekarang pertanyaannya adalah, sampai kapan hal-hal seperti ini akan
berlangsung? Tentunya setelah masyarakat yang notabene juga bagian dari pelaku
komunikasi tersebut insyaf akan kesalahnnya dan mulai menuntut pembaharuan
sehingga kejenuhan tersebut berangsur kembalai pada hal yang baru.
Jika seluruh publitas merupakan apologi bukan ditunjukkan untuk sebuah
produk tapi semata-mata publisitas? Jika informasi tidak lagi dipergunakan
untuk mengangkat sebuah peristiwa tetapi mengangkat dirinya sendiri sebagai
sebuah peristiwa? Jika sejarah hanya sebuah akumulasi, sebuah ingatan yang
bersifat seketika tanpa masa lalu? Bagaimana jika masayarakat kita tidak lagi
sebagai masayarkat tontonan seperti yang digembar-gemborkan pada tahun 1968,
tetapi masyarakat seremoni belaka?
Kita tahu bahwasannya masyarakat modern telah menjadikan segalanya
sebagai komoditi yang ditonton dan disebarkan melalui televisi. Kehidupan-kehidupan
dunia ditampilkan menjadi gambar riil dalam televisi. Namun hal ini tetntu
membuat kehidupan dunia riil menjadi kabur. Masyarakat terlalu terbawa pada
tayangan televisi sehingga terkadang melupakan eksistensinya dalam dunia riil.
Jika politik makin menajadi lautan tantangan, kemudian digantikan oleh
kegilaan terorisme , sandra, bentuk pertukaran yang mustahil? Bagaimana jika
keseluruhan informasi bukan lahir dari rekayasa subjek dan opini , seperti yang
diyakini sebagian orang, tetapi dari logika tanpa subjek , logika yang
didalamnya opini terjatuh ke dlam daya tarik yang sangat kuat?
Bebrapa informasi lahir dari opini yang bersifat subjektif. Beberapa
lainya tidak, melainkan bersal dari suatu peristiwa yang aktual. Hal ini
bersifat objektif. Namun, dalam perekembangannya hal yang demikian sedikit
banyak akan tercampur dengan opini-opini subjektif lainnya.
Sebab sudah menjadi hukumnya, satu informasi yang diberi dari satu
pihak ke pihak lain akan mengalami penambahan dan pengurangan. Hal ini yang menjadi
dasar penarikan kesimpulan bahwasannya semakin informasi berkembang, semakin
melebar informasi tersebut disajikan, semakin kuat pula pengaruh subjektif
beberapa pihak mengenai infomasi tersebut.
Jika pornografi menandakan berakhirnya seksualitas karena pencabulan
dan daya jajahnya yang masuk ke segala hal? Jika godaan mengikuti hasrat cinta
yang sebelumnya bisa dikendalikan subjek dan juga objek? Jika strategi
menggantikan psikologi? Jika kebebaan tidak lagi melawan ilusi, tapi merasa
ilusi itu lebih besar dari kebenaran sendiri? Bagaimana seandainya tidak lagi
terdapat patahan-patahan, garis yang menjadi patok , batas yang membelah,
tetapi hanya permukaan yang penuh dan tak bertepi, permukaan tanpa kedalaman
dan tanpa sela? Dan bagaimana jika semua ini tidak lagi menarik sekaligus tidak
membuat jengkel? Tidakkah semua itu fatal?
Kita sudah benar-benar berada di fase dimana opini yang dibentuk dan
disebarkan seara luas perlahan akan menjadi suatu kebenaran yang mutlak.
Hal-hal tabu menjadi umum, sehingga tontonan dan informasi sampah amat digemari
oleh masyarakat. Jika tayangan tersebut diganti dengan tayangan-tayangan yang
notabene bukan menjadi selera masyarakat kebanyak, tentunya akan terasa hambar.
Tiada rasanya. Hal yang mengrikan, fatal memang. Namun, tak ada hal rusak yang
tak bisa diperbaiki, selama takdirnya masih untuk kehidupan.
cukup... cukup! anak ekonomi ini pusing menjawab pertanyaan yang lebih tepat diajukan kepada anak IKOM
0 Comments