Adili Orang Madura Sejak Dalam Pikiran




Sebagai seorang Madura, dengan bangga saya menyarankan seluruh masyarakat Indonesia, mulai dari yang jadi pengamen sampai yang jadi presiden untuk membaca Bumi Manusia karya Pramoedya Anantatoer. Barangkali saja, nanti saat membaca buku tersebut pembaca akan menemukan sebaris quote yang berbunyi, seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran. Kemudian setelah menemukan quote itu, cobalah merenung sejenak – kalau bisa sambil ngopi dan rokokan sembari memikirkan apa maksud satu kalimat tersebut.

Sebelumnya, perlu diketahui kalau tulisan ini bukanlah sebuah resensi atau review sebuah buku dan semacamnya. Ini cuma sekedar suara hati saja. Terus terang, saya menulis ini karena saya lelah – barangkali, melebihi lelahnya Hayati di rawa-rawa. Jadi ceritanya begini, berulang kali saya merajut asmara lalu kandas terhalang restu. Alasannya, para mantan calon mertua enggan merestui hubungan saya dengan anaknya hanya karena saya yang berasal dari suku Madura.

Rata-rata mereka berkata, orang Madura itu keras, suka bertengkar dan senang beristri banyak, nanti anak saya akan jadi apa? Sialnya, argumen itu diperkuat dengan posisi mereka yang bertetangga dengan satu-dua orang Madura yang memiliki sifat-sifat ‘tercela’ itu dengan genap sempurna. Maaf, perlu digaris bawahi, cuma satu-dua orang saja!

Kemudian, keadaan semakin buruk lantaran ibu-ibu yang kala itu hampir jadi calon mertua saya tidak ada satu pun yang pernah membaca Bumi Manusianya Pramoedya. Duh, barangkali akan lain ceritanya kalau mereka pernah membaca buku legendaris nan sexy itu. Setidaknya mereka akan kenal Minke, Nyai Ontosoroh, Jean Marais dan Darsam. Ah, minimal ibu-ibu yang pernah menolak saya dengan alasan rasial harus mengenal siapa tokoh Darsam itu, harus!

Sebab, sampai saat ini paradigma yang berkembang mengenai orang Madura hanya yang buruk-buruk saja. Entah karena mereka – para mantan calon mertua saya khususnya dan masyarakat pada umumnya – belum tahu atau tidak mau tahu bahwasannya orang Madura juga manusia. Istilahnya, orang Madura bukanlah malaikat ataupun iblis. Mereka – termasuk saya –  juga punya sisi baik dan buruk. Tapi yang mengherankan, kenapa orang-orang selalu membaca keburukannya saja. Ya, yang Madura suka nyolong besi, lah. Mana Madura yang suka bicara dengan nada tinggi, lah, yang jadi preman pasar, lah.  Ya, pokoknya Madura seperti tidak ada baik-baiknya sama sekali.

Padahal kan tidak semua orang Madura begitu. Demi Tuhan, masih banyak orang Madura yang baik hati, suka menolong dan setia, seperti saya ini contohnya. Lagi pula, kalau mau sedikit merendah hati untuk mengenal lebih dekat orang-orang Madura, pastilah didapat hal-hal yang bernilai positif darinya. Kalau tidak percaya, mari kenalan.

Yang jadi masalah adalah kebanyakan orang hanya bisa menilai tanpa mengenal. Padahal, tidak kenal maka tidak sayang. Kalau sudah tidak sayang, larinya hanya kepada dua kemungkinan. Yang petama tidak peduli, yang kedua adalah membenci.

Sebab bukan hanya cinta dan cemburu saja yang buta. Kadangkala benci pun dilakukan dengan membabi buta. Kalau sudah begini, yang saya ingat adalah sebaris tulisan Karl May. Filsuf sekaligus sastrawan dari Jerman itu menulis bahwa selama ini aku hidup ditengah wabah yang mengerikan, dan wabah itu bernama prasangka.

Secara pribadi dan sebagai lelaki, seyogyanya saya pantang mengasihani diri sendiri. Apalagi didikan alam Madura yang tegas membuat saya berpantang untuk menye-menye. Tetapi, sebagai lelaki yang sudah berkali-kali dipandang sebelah mata oleh orang tua para mantan. Apa yang dikatakan Karl May berhasil membuat saya terharu dan ingin memeluknya. Tahu betul orang Jerman itu akan kendala nasib asmara saya yang terhalang prasangka dari setiap calon mertua.

Bahkan suatu hari, sempat saya berpikir kalau mereka yang sanantiasa berprasangka buruk terhadap saya adalah wabah yang sebenar-benarnya. Wabah yang lebih nyata dan berbahaya dari sekedar isu bangkitnya hantu PKI. Bahkan, yang lebih parah saya sempat menyimpulkan – entah karena sudah jengah atau bagaimana – kalau orang tua yang menyarankan anaknya untuk tidak menjalin hubungan asmara dengan orang Madura adalah pengkhianat bangsa. Mereka adalah perusak cita-cita dari kebhinekaan pancasila. Tidak humanis, pelanggar HAM dan tidak pantas menjadi warga dunia.

Selain tidak pernah membaca Bumi Manusia, saya juga sempat curiga kalau-kalau saat di bangku sekolah dulu, mereka selalu tidur saat mata pelajaran PKN berlangsung. Soalnya kalau tidak, mereka pasti mengerti bahwa sebagai warga negara Indonesia yang baik, nilai-nilai dalam pancasila harus selalu diamalkan di dalam kehidupan sehari-harinya.

Sebab Pancasila bukanlah burung perkutut dengan segenap rumus kode buntut. Pancasila adalah falsafah hidup yang seharusnya dipelajari, dihayati, dan diamalkan. Seperti juga percuma menghafal lagu Dari Sabang Sampai Merauke kalau dalam pikirannya bangsa Indonesia hanya untuk satu suku saja.

Tetapi, saya bersyukur sudah membaca Bumi Manusia. Sedikit banyak saya mencoba untuk selalu adil sejak dalam pikiran. Saya tidak sudi menjadi manusia yang menyebarkan wabah-wabah prasangka. Husnuzon saja, berprasangka baik itu lebih baik kata Papa Setnov, eh maksudnya kata Pak Ustadz.

Ah, negalantur saja. Kembali ke masalah asmara, saya mulai berpikir untuk mengikhlaskan segala yang berlalu. Kalau memang bukan jodoh apa mau dikata. Tidak perlu menyalahkan ibu-ibu dari setiap kekasih yang kandas. Mereka juga punya penilaian akan bibit, bebet dan bobot untuk anaknya sendiri (meski sekarang sudah bukan zamannya Siti Nurbaya). Toh jodoh tidak akan lari dikejar.

Ya, beginilah kehidupan. Keras, lembek sedikit diinjak-injak. Terus terang, saya masih merasa risih kepada setiap orang Indonesia yang memandang darah Madura saya sebagai sesuatu yang perlu dijauhi. Mengapa? toh, Madura juga Indonesia, kan? Sama-sama Indonesia jangan saling ejek dah hina menghinakan, tidak baik, kata Mama.

Terakhir, kembali lagi ke pembahasan awal. Saran saya, bacalah buku Bumi Manusia tulisannya Pramoedya Anantatoer. Minimal saya berharap kelak saat menjadi orang tua, pembaca tidak menolak lamaran seorang pemuda karena alasan rasial. Zaman sudah modern, mengapa masih rasis? Adillah sejak dalam pikiran!


*Ditulis dengan hati, meskipun
ada yang bilang itu lebay. Tetapi,
percayalah, tulisan ini benar-benar
ditulis pakai hati sambil nangis karena
tidak punya rokok dan dompet kering.

Post a Comment

7 Comments

Jangan "tangisi" identitasmu, tugasmu hanya "ngeyel" dan membuktikan. Hahahahaha
Sirajudin said…
Hehe sy kuat kok mas, sy bahagia dan pasti ngeyel😂
Bombom said…
we are victims of perception. I experienced it several times. Pasabbher bro :D senasib.
Bombom said…
http://bombom.co.id/social/kami-orang-madura-juga-berhak-membahagiakan-anakmu-bu
Unknown said…
hehehe curhatan yang berbobot
saran saja, cari orang jawa tapi yang dari madura saja , biar tidak berkali-kali sakit hati
wkwkwkwk
Sirajudin said…
Haduh repot wkwk