Judul:
Canting
Penulis:
Arswendo Atmowiloto
Penerbit:
PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan/Tahun:
II/2007
Tebal:
406 halaman
Kalau ditanya
mengapa saya membaca buku ini, terus terang mulanya saya hanya penasaran dengan
Arswendo – seperti biasa, saya membaca karya satu penulis hanya karena
penasaran dengan penulis dan tulisannya, klasik dan klise memang. Entah
beberapa bulan yang lalu dari obrolan di warung kopi, seseorang menyarankan
saya membaca buku-buku Arswendo. Kebetuan sekali, beberapa minggu yang lalu,
seorang anggota Pers Mahasiswa Fak. Pertanian UTM membawa buku Canting ini,
saat dengan tidak sengaja – ditambah sedikit apes, tentunya – bertemu saya di
warung kopi.
Bak
gayung bersambut, mau tidak mau saya pinjam bukunya. Sebuah buku yang mengambil
latar pada awal masa kemerdekaan di Kota Solo, Jawa Tengah. Kota dimana
kebudayaan kraton masih begitu kentalnya –bahkan, hingga saat ini. Arswendo
memulai cerita dalam buku ini dengan penggambaran pagi di sebuah ndalem Ngabean, rumah seorang bangsawan
kraton. Disanalah pembaca akan dipertemukan dengan Bu Ngabehi atau Bu Bei, istri Pak Bei. Bangsawan kraton yang juga
menjadi saudagar batik tulis Cap Canting.
Sebuah
hal yang tidak wajar, seorang priyayi menjadi saudagar. Tidak hanya itu, Bu
Bei, yang mengurus usaha batik, notabene bukan berasal dari kalangan priyayi.
Namun, Pak Bei adalah priyayi yang aeng,
aneh. Dirinya mendobrak beberapa nilai-nilai kraton dari sebuah budaya yang
sudah dianggap paling sempurna, budaya jawa.
Pak Bei
yang juga veteran perang kemerdekaan itu mengawini seorang buruh batik. Kemudian
tanpa ragu-ragu menjadi juragan batik –meskipun dalam prakteknya, semua urusan
bisnis hanya dikerjakan oleh istrinya. Aeng,
atau aneh. Begituah streotip yang tergambar dari keluarga Pak Bei.
Seperti
juga anaknya terakhirnya, Ni, yang ngotot meneruskan usaha batik keluarganya. Dirinya
jugkir balik setegah mati mengikuti kata hatinya. Ambisius dan berani, Ni,
mencoba melawan industri batik printing
yang perlahan menggulung batik-batik tulis di pasaran. Sebuah keinginan konyol
dari seorang sarjana farmasi yang tidak tahu canting, lilin, mori dan hal-hal
berbau batik yang lain.
Canting
adalah sebuah buku, roman yang menangkap getiran hidup para bangsawan Jawa
diambang batas tradisi dan tuntutan zaman. Buku ini juga seperti menjadi
pengingat bahwa tidak ada satu pun yang langgeng, abadi di dunia ini. Tidak
kekuasaan, kejayaan, bahkan budaya yang dinilai sempurna sekalipun.
Kepasrahan
yang ditawarkan Arswendo lewat tokoh Pak Bei dalam menjalani hidup adalah satu
hal yang kadang dilupakan oleh banyak orang. Hidup yang ambisius melupakan satu
dzat yang paling maha di atas segalanya.
Dalam pasrah tak ada
keterpaksaan. Dalam pasrah tidak ada penyalahan kepada lingkungan, pada orang
lain, juga pada diri sendiri. Hidup
yang ditawarkan Pak Bei bukanlah hidup yang seperti drama. Dimana ada klimaks
dan anti klimaks. Tapi hidup adalah layaknya aliran sungai yang menjauhi hulu
menuju muara. Demikian menuruti mengkuti alurnya dengan senantiasa, tanpa
merasa aneh dengan apapun.
Sebuah
roman keluarga yang membuat haru dan lucu di saat yang bersamaan. Saya menyukai
bagaimana Arswendo memberi anekdot-anekdot dari sebuah kesederhanaan hidup dan
keluguan manusia. Percakapan-percakapan yang hidup dan menarik banyak menghiasi
buku ini. sebuah buku yang syarat akan makna, perenungan mengenai hidup yang
akan membuat kita mengangguk-anggukkan kepala sendiri.
Sederhana,
lucu dan bijaksana. Dengan membaca buku ini, saya merasa semakin penasaran
dengan Arswendo dan karya-karyanya. Semcam candu, rasanya. Terakhir, saya
bisikkan satu rahasia: bacalah buku ini, sumpah.
0 Comments