![]() |
Ndol tengah menunjukkan cara menikmati rokok dengan benar. |
Ndol, seorang mahasiswa tingkat akhir yang
sudah banyak makan asam garam kehidupan kampus tiba-tiba seperti kerasukan jin
putih. Tidak ada angin tidak ada hujan, Ndol yang biasanya bertingkah slenge’an mendadak bijak dan berwibawa.
Dengan lantang dia berkata di hadapan mahasiswa baru yang sekontrakan dengannya;
jadilah mahasiswa yang pandai menikmati hidup. Jangan terlalu pusing memikirkan
idiil yang tidak jelas biar nggak mati
muda macam Soe Hok Gie, Ahamad Wahib
dan orang-orang yang terlalu ribet sendiri itu!
Sambil meminum kopi sisa pagi tadi, Ndol mantap
berdawuh kepada warga kontrakan yang
terheran-heran dengan perubahan sikapnya. Katanya, mahasiswa juga manusia
biasa. Mahasiswa bukan dewa yang bisa dengan mudah mengubah nasib suatu bangsa.
Mahasiswa, ya, juga butuh kopi, makan, minum, cinta dan foya-foya.
Suasana mendadak hening, warga kontrakan
tiba-tiba tidak ada yang berani angkat suara. Ndol melanjutkan ‘khotbah dadakannya’ mengenai mahasiswa dengan segala macam fungsi-fungsinya. Dengan keyakinan yang hakiki
dia mengatakan kalau trifungsi mahasiswa hanyalah harapan semu yang kian lama
kian menjadi omong kosong saja. Tidak perlu dipikir dalam-dalam. Jalani saja,
jangan sampai terjebak pada situasi yang menekan dan tidak menyenangkan.
Istilahnya, lek kuat dilakoni ora kuat
ditinggal ngopi, gitu aja kok
repot?
Spontan, pernyataan Ndol yang mengejutkan itu
mengingatkan saya kepada sebuah ungkapan dari Tan Malaka, idealisme adalah
kemewahan terakhir yang dimiliki seorang pemuda. Mulanya ingin sekali saya
membantah pernyataan Ndol yang temonyo itu
dengan statement dari seorang tokoh
sekaliber Tan Malaka. Namun, niat itu saya urungkan ketika saya teringat kepada
seorang kenalan yang tak sengaja sering saya
temui di warung kopi. Sebut saja namanya Kandar, seorang mahasiswa semester tua yang tidak
kunjung wisuda dan mengaku sebagai aktivis kampus dengan penuh rasa bangga.
Berlandaskan idealisme yang dipeluknya, Kandar mengeluarkan pendapat mengenai idealnya
seorang mahasiswa. Baginya mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang
berorientasi pada kepentingan rakyat. Masalah rakyat harus dinomer satukan,
masalah kuliah urusan belakangan. Biasanya, mereka yang berpikiran seperti ini
sering bolos kuliah, IPK
jeblok serta telat wisuda dengan alasan terlalu sibuk mementingkan urusan
rakyat ketimbang permasalahan akademisnya. Aduhai.
Namun
seyogyanya, tidak ada yang
perlu dipermasalahkan mengenai hal tersebut. Nasib, ya, nasib mereka. Kuliah,
ya, urusan mereka. Namun, yang jadi pertanyaannya adalah apakah rakyat yang
katanya dibela merasa telah dibela dan mendapat keringanan beban. Sedang arah
pergerakan mahasiswa sejauh yang saya pahami saat ini hanya berisi persaingan antar
golongan belaka. Masalah rakyat hanya kedok untuk menutupi ambisi-ambisi
golongan yang mau tidak mau harus tetap dipenuhi, bagaimanapun caranya.
Lagi pula jika dipikir secara realistis,
mahasiswa semacam Kandar yang
mengaku-aku sebagai aktivis itu, bagaimana mungkin bisa membela kepentingan
rakyat jika membahagiakan orang tuanya untuk cepat wisuda saja tidak bisa?
Seperti pepatah, kadang semut di sebrang lautan dapat dilihat sedang gajah di
pelupuk mata tidak kelihatan. Bagaimana bisa meraih bintang kalau jambu di atas
pohon saja tidak tergapai?
“Jangan jadi seperti Kandar, ngaku-ngaku aktivis namun seperti tong kosong
yang nyaring bunyinya. Ngomongnya bela rakyat ujung-ujungnya malah mencari
panggung buat
eksistensi diri sendiri. Emang, sing omong tok akeh tunggale,”
suara Ndol memecah lamunan saya. Hebat benar, dia bisa membaca pikiran sekarang. Saya curiga
Ndol sudah mulai belajar menjadi dukun.
Ndol yang menjadi bijak itu mendehem dan
kembali membawakan kuliah singkatnya. Hidup hanya sekali, katanya. Mengapa
tidak dinikmati senyaman mungkin. Zaman sekarang tidak perlu percaya pada
slogan yang berapi-api itu. Ketimbang mumet memikirkan perpecahan dan maslah
negara yang tidak ada habisnya, lebih baik baca buku, nonton film, dan naik gunung
saja, bukankah itu lebih baik?
”Edan, individualis Ndol ini, hedon
sekali pemikirannya,” bisik Paijo
“Bukannya saya hedon atau bagaimana,” Kelih
Ndol sedikit mendengar bisik-bisik Paijo. ”Saya hanya mengajak kalian berpikir
realistis. Ini ceritanya saya coba menawarkan cara menjadi aktivis mahasiswa
yang idealis, cinta pada bangsa, negara, agama dan bunda. Sederhana saja, tak perlu muluk-muluk.
”Cukup belajar dengan baik, cepat lulus, kurangi
pengagguran dan buat orang tua bahagia. Itu lebih dari cukup. Tidak usah
pedulikan yang lain, hal-hal yang tidak penting. Tak perlu sok kritis tak perlu
macak aktivis, gitu aja kok repot?” ujar Ndol dengan terkekeh sambil berjalan
keluar meninggalkan warga kontrakan yang masih tertegun dan mencoba untuk
mencerna kata-katanya.
Kalau
dipikir secara realistis omongan Ndol yang sedang gila ini ada benarnya juga. Hidup hanya sekali, yang
pasti itu mati. Rasanya sayang jika hidup tidak diisi dengan hal yang
indah-indah. Dan permasalahan mengenai mahasiswa, saya lupa, saya harus
menyelesaikan tugas dari dosen. Menyelesaikan kewajiban, hitung-hitung
menunaikan amanah orang tua yang sudah susah payah menyekolahkan saya sampai ke
jenjang perguran tinggi.
Sementara
itu Sukirman yang melongo disamping saya bertanya, ”Ndol kenapa, dia sebenernya
kiri atau kanan, sih?” gayanya menirukan dialog dalam salah satu adegan di film
Gie, film yang sudah sembilan kali ditontonnya.
Saya
menggeleng, “Tidak tahu, saya rasa dia kiri, hanya saja kiri notok pol sampai putar balik.”
Sejenak
suasana kembali hening, sampai Sukirman kembali bersuara, “Mungkin, Ndol sedang
kerasukan jin putih penunggu WC, siapa tahu saja,” percakapan pun seketika menjadi
mati dan bau kemenyan tiba-tiba keluar dari dalam WC. Menyengat sekali.
0 Comments