Ada yang Menangis Sebelum Revolusi itu Dimulai



Judul: Pecundang
Penulis: Maxim  Gorky
Penerjemah: Ahmad Asnawi
Penerbit: Narasi-Pustaka Promethea
Jumlah Halaman: 406 halaman 

Pemberontakan adalah hal yang terjadi saat sekolompok – mulanya segelintir atau bahkan satu – orang merasa tidak puas dengan sistem yang berlaku. Dari pemberontakan itulah terdapat dua kemungkinan; berhasil dan menciptakan revolusi dengan pahlawan-pahlawan di dalamnya, atau gagal dan melahirkan sekelompok orang yang dianggap pengkhianat.

Sudah banyak revolusi-revolusi yang tercipta di dunia. Yang paling terkenal diantaranya revolusi Prancis, revolusi Industri di Inggris, dan revolusi Rusia. Sejauh yang saya tahu, buku-buku pelajaran di sekolah hanya mengajarkan bagaimana revolusi itu terjadi secara garis besarnya saja. Hal-hal kecil di dalam revolusi tersebut –yang kadang dianggap tidak penting – seolah luput dari mata sejarah.

Oleh karenanya, tak heran jika kebanyakan anak-anak jebolan sekolah yang mengaku akademis lebih terbiasa menilai hasil ketimbang mempertimbangkan proses bagaimana suatu kejadian terjadi. Maka, disinilah peran sastra menjadi penting sebagai alternatif penambal lobang-lobang pengetahuan yang belum sempat, atau bahkan sengaja ditinggalkan oleh pelajaran di sekolah itu.

Jika dihitung-hitung, sudah banyak sastrawan yang menulis kisah dengan latar belakang peristiwa besar macam Pramoedya Ananta Toer dengan tetraloginya Pulau Burunya. Pram membahas bagaimana kehidupan masyarakat pribumi dibawah jajahan Belanda silam. Ada pula Orhan Pamuk yang menggambarkan getir situasi Turki kala gesekan antara kaum konservatif dengan sekularisme.

Namun sebelum dua nama itu mencuat dipermukaan, Maxim Gorky dengan gaya realisme sosialnya muncul dengan beragam karya yang mampu mengguncangkan gairah pemberontakan di hati pembacanya. Pecundang adalah salah satu karya penulis asal negeri beruang tersebut.

Novel yang ditulis pada tahun 1907 itu merekam perjalan politik dalam negeri di daerah yang terkenal sebagai tanah air komunis tersebut. Dengan mengambil latar belakang revolusi bersenjata melawan rezim Czar tahun 1905, Gorky pelan-pelan membongkar betapa busuknya rezim yang selama ini kokoh berdiri hingga disembah-sembah.

Lewat tokohnya, Yesvey Klimkov –seorang pemuda desa yang terjebak pada situasi tertentu hingga terpaksa menjadi seorang mata-mata, – dengan runut Gorky melukiskan bagaimana sengitnya pertikaian yang terjadi antara kaum revolusioner dengan kaki tangan pemerintah (polisi, tentara dan mata-mata).

Ketidakpuasan kaum revolusioner terhadap pemerintah, oleh Gorky digambarkan lewat pengalaman-pengalaman yang menimpa Yesvey. Tokoh utama tersebut, dengan beragam kerisauan dan gejolak batinnya terpaksa memata-matai kaum revolusioner yang kebanyakan dari mereka adalah kawan dan kenalan semasa kecilnya. Seperti menemui dua jalan bercabang, kejujuran dalam diri Yesvey harus berhadapan dengan teror ancaman dari penguasa.

Sebab Czar, masih dewa bagi sebagain orang, sebagaimana yang dingkapkan Krasavin, salah seoarang mata-mata, pasca terjadi kerusuhan di St. Petersburg, ”Jika rakyat jelata juga mulai memberontak melawan Czar, maka tidak ada orang jelata lagi, yang ada hanya pemberontak.”

Namun, api revolusi sudah dipantik. Novel ini pun merekam bagaimana perlawanan terus berlangsung, huru-hara melanda negeri, Yesvey semakin terdesak oleh suara hati dan ketakutannya. Revolusi terus dikumandangkan, sesekali pemerintah terdesak, sesekali mayat para revolusioner teronggok di jalanan, mayat-mayat yang begitu Yesvey kenal semasa silam. Pembunuhan terjadi sepanjang waktu, setiap ada kesempatan.

Suasana makin mencekam, tak ada kepercayaan satu sama lain. Semua saling curiga. Sementara Yesvey masih belum bisa mengikuti kata hatinya, karena jika tidak demikian dirinya akan mati terbunuh. Yesvey benar-benar dalam kondisi yang tidak mengenakkan. Bertahankan ia dengan kondisi yang demikian, atau bagaimana jika cinta mulai tumbuh di hati seorang seperti Yesvey?

Seperti yang diceritakan, Yesvey yang dalam kegamangan itu pada satu kesempatan bertemu dengan sepupunya, Yashka yang tumbuh menjadi pria kuat dan bagian dari kaum revolunioner. Berkat pertemuan itulah Yesvey juga berkenalan dengan Olga, dan pelan-pelan jatuh hati padanya.

Namun, apakah yang bisa dilakukan oleh cinta dalam kondisi semacam itu?
*
Maxim Gorky menjadi pembaharu dalam sastra Rusia. Selaian konsepsinya tentang bahasa, munculnya pahlawan-pahlawan yang tidak umum di novel Gorky menjadikan popularitasnya melejit. Sastra yang sebelumnya hanya terbatas untuk kalangan bangsawan dengan bahasa tinggi didobrak olehnya. Gorky menghadirkan orang biasa macam buruh dan petani sebagai tokoh pahlawan dengan bahasa yang merakyat.

Adapun buku ini pertama kali diterbitkan secara utuh pada tahun 1917 saat terjadi kekosngan kekuasaan Rusia setalah pada tahun-tahun sebelumnya dilarang demi ‘kemuliaan’ Czar.

Namun, dalam terjemahan versi bahasa Indonesianya, bagi saya buku ini masih agak kaku untuk dibaca. Selain itu, penyebutan nama tokoh yang berubah-ubah (kadang memakai nama awal, kadang memakai nama akhir) sering membuat bingung dan mengganggu kenikmatan alur cerita. Akan tetapi, terlepas dari itu semua buku ini masih sangat layak untuk dibaca, terlebih kalangan mahasiswa yang haus akan pengetahuan dan jati diri.

Terakhir, mengutip apa yang pernah disampaikan J.F. Kannedy, ”Jika politik itu kotor, sastra yang membersihkannya,”.

Post a Comment

0 Comments