Chairil Anwar-Globalisasi-Rindu


-        Selasa, 27 September

Dalam derai-derai cemara Chairil menulis bahwasannya hidup hanya tentang menunda kekalahan. Kita yang Berjaya, kuat, berkuasa, dan kadang lupa bahwasannya dunia ini berputar pada akhirnya akan mengalami satu masa dimana raga, jiwa dan seluruh unsur di dalam tubuh terasa jatuh sejatuh-jatuhnya. Akan datang masanya setiap diantara kita merasakan kekalahan yang benar-benar telak. Hancur berantakan, tanpa daya. Dan puncak dari kekalahan kita bernama kematian.

Kita yang tak bisa melawan waktu, kita yang pasrah akan kehendak maut, kita yang tak bisa lari dan harus menyerahkan diri sepenuhnya pada kuasa ghaib. Tak mampu menentang, tak mampu berkelit. Jadilah kita sebagai yang terhempas, dan yang putus.

-        Rabu 28 September

Zaman ini sudah menjadi zaman yang gila
Mereka yang tidak ikut menjadi gila dianggap gila
Namun bersyukurlah mereka yang tidak menjadi gila
Karena seberuntung-beruntungnya orang di zaman yang gila
Adalah mereka yang tidak ikut gila.
Seperti dalam sajak Chairil Anwar; waktu jalan, aku tak tahu apa nasib waktu. Zaman yang terus bekembang dengan segala kemajuannya. Inovasi-inovasi baru yang membuat hidup semakin praktis. Teknologi yang tak diam di tempat. Pengetahuan dan ilmu-ilmu baru yang semakin mewarnai jalannya kehidupan manusia di dunia yang renta membuka mata saya, betapa globalisasi telah benar-benar merambah setiap lapis kehidupan manusia di muka bumi ini.
Pembangunan-pembangunan terus dilaksanakan tanpa henti. Gedung-gedung pencakar langit, investasi asing, dan masyarakat ekonomi Asean. Arus pertukaran informasi yang di dukung perkembangan IT semakin menjadikannya cepat. Dunia pun benar-benar terasa tanpa batas.
Namun inilah kehidupan. Ada positif tentu negatifnya pun ada. Kemajuan-kemajuan zaman yang begitu pesatnya mengakibatkan disintegrasi sosial di bebarapa daerah. Penyebabnya pasti, kurang siapnya masyarakat yang bersangkutan dengan efek-efek globalisasi. Pemfilteran input pengaruh asing pun menjadikan tatanan sosial di lingkungan tersebut amburadul.
Kehidupan makin tak terkendali. Masyarakat lepas kontrol. Dunia semakin gila, penduduknya pun demikian. Ah, rasa-rasanya kiamat tinggal menghitung hari.

-        Kamis 29 September

Efek globalisasi, tatanan sosial yang mulai bergeser, norma dan nilai-nilai luhur yang semakin memudar dalam kehidupan bermasyarakat. Yang benar disalahkan, yang salah diagung-agungkan sebagai suatu kebenaran.  Penilaian akan sesuatu semakin absurd saja. Bahkan dogma agama dinilai kampungan, tak selaras dengan kehidupan zaman sekarang (untuk relalita terkahir, sejenak perkenankan saya mengusap dada terlebih dahulu).
Jujur saja, untuk saat ini saya tak memiliki seorang pacar. Jomblo, demikianlah mereka menyebutnya. Namun saya tak memiliki masalah akan hal itu. Bagi saya hidup tanpa pacar membuat hidup terasa lebih leluasa, lebih bebas dan tak terikat (meskipun di suatu waktu hati kecil saya juga menrindukan seorang wanita sebagai pacar sebab beberapa alasan tertentu). Jika pun menilk pada ajaran agama, keputusan saya untuk tidak berpacaran sangat di benarkan. Nilai dan norma sosial pun menganjurkan hal yang demikian mengingat banyaknya dampak negatif dari berpacaran.
Namun sayangnya penilaian seperti itu tidak berlaku bagi pemuda masa sekarang. Kejombloan dipandang sebagai sesuat yang hina. Sesuatu yang amat di jauhi layaknya kutukan. Mereka berlomba-lomba mencari pasangan yang memenuhi kriteria nafsunya. Tujuannya jelas, yang pertama sebagai pamer. Karena pacar di zaman ini menentukan status sosial seseorang. Dan yang kedua adalah alat pelampias nafsu.
Sudah jadi rahasia umum bahwa pacaran zaman sekarang bukan sekedar pengenalan anatar personal. Lebih dari itu, para pemuda-pemudi seakan merasa belum afdhol berpacaran jika belum berciuman. Dan ciuman hanya langkah pertama untuk melakukan tindakan-tindakan asusila lainnya dengan alasan suka sama suka.
Lucu memang, tindakan yang berada diluar noma agama dan sosial malah dibenarkan secara tidak langsung oleh generasi edan ini. kebejatan-kebejatan yang terjadi mulai dimaklumi, sebaliknya kebenaran malah menjadi suatu yang asing bagi mereka.
Dunia benar-benar sudah gila!

-        Jumat 30 September

Angin menderap langkah kecil
seolah  malam takut terusik.
Di pelabuhan mati, ombak memanggil
dan kopi mulai berbisik:

       -Jejak langkah waktu masih terbaca
       kapal-kapal yang tak lagi bertambat
menoreh luka
di dada pelabuhan yang kumuh berkarat

kemudian hening singgah sejenak
ku lihat sepasang muda
bercumbu dalam gelap. Tiada jarak
antara  pengap dan gejolak darah remaja

Kemudian seperti malam biasanya
seseorang yang jauh singgah kembali
dalam hati, mendebarkan dada.
Dan dapat ku pahami. Ada rindu disini

Ku telusuri malam sekali lagi
serenade ombak menggiring waktu.
Gigil mulai terasa, rindu apa lagi.
Aku jengah, pendar lampu kapal membuyarkanku.

Sungguh,
rindu datang tanpa kenal waktu

-        Sabtu 1 Oktober

Malam minggu yang ideal. Hujan turun dan angin berhembus dengan manja. Ada kopi disini, buku dan beberapa batang rokok yang saya kira-kira akan cukup untuk melewati malam yang agaknya akan dingin, sunyi dan indah ini.
Sebenarnya malam ini bertepatan dengan malam pergantian tahun baru dalam kalender hijriah. Beberapa festival dan acara sudah siap meramaikan malam ini. sebut saja festifal parade yang rencananya diadakan di Kamal.  Namun, hujan begini bagaimana bisa. Semua acara pasti dibatalkan.
Benar, manusia yang berkehendak namun Tuhan yang menentukan. Tuhan Maha tahu, Dia tahu apa yang terbaik untuk semua hambanya. Sebaik apapun maksud dan rencana yang kita bangun, jika Tuhan tak berkehendak maka tak akan pernah terjadi. Barangkali Dia yang Maha Pemurah dan Maha Baik telah merencanakan sesuatu yang lebih indah di lain waktu, sesuatu yang lebih istimewa.
Hujan turun tak begitu besar, malah makin tinggal gerimis. Tapi setidaknya sunyi masih ada disini menemani saya, segelas kopi dan beberapa gelintir tembakau.

-        Minggu 2 Oktober

“Saya adalah tipe orang yang menantikan datangnya hari minggu. Meskipun ketika hari itu tiba kemungkianan terbesarnya saya tidak melakukan apa-apa selain tidur dan bermalas-malasan sampai sore, kemudian menyesal karena tidak melakukan apa-apa di hari itu”- pk
Pelan-pelan saya mulai mengerti mengapa ada orang yang nekat mengakhiri hidupnya. Saya mulai mengerti bagaimana kejenuhan amat pengap terasa, rutinitas dan lain sebagainya. Saya pun sedikit-sedikit memahami bagaimana kesunyian tiba meninju-ninju dada.
Akhir pekan yang biasa-biasa saja, menjemukan lebih tepatnya. Sebenarnya saya tidak jauh berbeda denngan pemuda kebanyakan. Senang mencari hiburan, senang jalan dan bersenang-senang. Namun dengan keadaan dompet yang miris sekali  bagaimana mungkin saya melakukan hal itu.
Di dunia ini memang tak semuanya tentang uang, uang bukanlah segalanya. Akan tetapi di zamana yang entah bagaimana saya harus menyebutnya, rasa-rasanya semua butuh uang.

-        Senin 3 Oktober

Dalam hal agama, begitu banyak hal-hal yang berada diluar akal sehat. Sulit di nalar logika dan di jangkau oleh pikiran. Beberapa hal mistik, ghaib yang irasional menjadi ujian bagi para pemeluk teguh. Surga dan neraka, pahala dan dosa, jodoh, cinta, kematian dan takdir.
Keberadaan malaikat, jin dan iblis serta aktivitas mereka. Wujud-wujudnya yang absurd serta mencengangkan. Belum lagi mengenai Tuhan itu sendiri. Wujudnya, keberadaanya, pekerjaannya dan lain sebagainya.
Mungkin sampai kepala pening tak kan kuasa kita memikirkan validitas mengenai hal-hal di atas.  Sampai mati kita menerka-nerka penggambaran malaikat, keberadaan surga dan derajat api neraka. Toh seperti yang di sampaikan para filsuf dan pemuka agama, Tuhan ada bersama kita, selalu, dan ia dekat, amat dekat.
Untuk masalah ini saya angkat tangan, manut saja. Ikuti kata orang-orang yang lebih tua. Percaya saja, iman istiahnya. Mungkin disini letak pentingnya sebuah iman. Ketika logika tak mampu mencerna, iman lah yang bicara.
Keyakinan memang harus selalu dikedepankan. Seperti kata pepatah, keyakinan adalah hal yang utama. Maka dari itu, mau tidak mau saya harus mayakini satu dari beberapa pilihan. Saya bukan atheis, saya percaya Tuhan. Dengan modal iman atau kepercayaan kepada Tuhan itulah saya mempercayai hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Karena sekali lagi, Ketika logika tak mampu mencerna, iman lah yang bicara.