Terdampar di Pelabuhan Timur



Malam yang membosankan. Di kost hanya tersisa tiga makhluk kurang kerjaan yang butuh hiburan. Yang pertama saya, manusia seutuhnya dengan rasa jenuh yang tengah memucak. Dua lainnya adalah makhluk yang menyerupai manusia, sebut saja Ndol dan Roy. Kalau boleh jujur kami tengah krisis keuangan akhir-akhir ini. sebagai ”anak kampus” yang tinggal jauh dari orang tua dan tak punya keterampilan untuk bekerja mengharuskan kami untuk tetap menunggu jatah uang kiriman dari orang tua. Masalahnya uang kiriman saya macet, sedangkan Ndol dan Roy untuk pekan ini memang belum waktunya untuk kiriman, uang mereka habis sebelum waktunya.

Ndol dan rokoknya
Tiga makhluk malang yang terjebak dalam kejenuhan hidup di malam yang dingin tanpa rokok dan kopi, tambah-tambah tak ada wanita sebagai sandaran hati. Ini masa-masa yang berat bagi kami. Saat-saat seperti ini yang kami butuhkan adalah hiburan, hiburan yang tak banyak makan biaya tentunya. Setidaknya dengan adanya hiburan yang entah bagaimana pun itu masalah-masalah yang ada bisa terlupa meskipun sejenak.
Hompimpah dilakukan, saya kalah. Konsekuensinya motor yang garis bensinnya sudah di garis merah harus dikeluarkan juga untuk menemenukan kesegaran pikiran. Namun, di kota semati ini di mana tempat paling tepat untuk itu?
“pelabuhan timur!” asal saja Roy mengusul. Raut wajahnya aneh sekali. Seperti kambing jantan yang baru saja menghadapi betinanya. Senyumnya licik. Ada maksud yang nyata-nyata disembunykan di dalam usulan itu.
Saya mengiyakan saja, Ndol pun begitu. Saya tahu Ndol juga ngebet sekali ingin tahu peltim malam hari. Sebab bukan apa, sejak ia resmi di terima di UTM lewat jalur mandiri karena jalur seleksi SNMPTN dan SBMPTN yang diikuti sebelumnya gagal membawa ia masuk ke universitas yang hanya sekalas UTM sekalipun. Mau tidak mau ia harus membayar biaya entah apa namanya itu untuk bisa masuk dan menempuh pendidikan di Universitas ini. Setelah kuliah dan berbulan-bulan berlalu, Sekali pun belum pernah ia menginjakkan kaki di pelabuhan yang pernah menjadi pelabuhan tersibuk di dunia itu.
Kami pun berangkat, bonceng tiga gaya terong-terongan masa kini. Masa bodoh dengan semua itu. Asal tak mati karena BT yang mendalam di kostan saja, saya rela. Selang beberapa menit Roy menyetir, sampai di Kamal ia mengaku juga kalau belum pernah sampai di pelabuhan timur. Gahool! Dua anak muda yang sudah berbulan-bulan hidup ngekost di daerah kampus UTM tak tahu letak pelabuhan timur? WTF! Ini sama saja dengan dua pemuda asli Surabaya yang tak tahu dimana gang Dolly atau Stasiun Wonokromo berada.
Ya, jadilah saya pemandu dadakan dua makhluk tak jelas ini. Masuk ke daerah pelabuhan timur sebuah kalimat keluar dari mulut Ndol dengan polosnya, “kok gelap ya, ju?”
“pacaran disini enak kayaknya, ya” Roy mengimbuhi. Betapa lugunya mereka.
Kami terus berjalan semakin mendekati lautan. Saya tidak terlalu memperhatikan beberapa pasang pemuda yang asik bercumbu di pinggiran jalan yang remang menuju pelabuhan. Namun tidak dengan kedua teman saya. Kedua makhluk itu spontan berseru satengah misuh ketika melihat sejoli yang berciuman.
“asu, cipokan mereka”
“bajingan, enak banget tuh!”
“yang cewe lumayan, Roy!”  percakapan tak jelas yang seperti itu pun terus berlanjut sampai saya mengeluarkan uang untuk membeli kopi dan beberapa rokok eceran, ya meskipun berat mau tidak mau harus ada yang dikorbankan untuk mencapai sebuah kepuasan.
Rasanya sayang, setelah menemukan tempat yang agak jauh dari pasangan-pasangan muda yang asyik bercumbu, sunyi dan gelombang lautan serta angin malam di pelabuhan yang amat permai menenangkan pikiran. Jika tak dibarengi dengan kopi dan rokok terasa kurang sempurna rasanya. Kemudian setelah semuanya lengkap, hangatnya kopi yang mengimbangi angin malam semakin menjadikan hidup terasa lebih ringan.
Surabaya di sebrang dengan segala kemolekannya. Kapal-kapal yang bertambat. Dan yang paling penting adalah kesunyian serta ketenangan yang di dapatkan disini. Tak hanya saya, Roy dan Ndol juga merasakan ketentraman yang sama. Pelabuhan Timur yang tenang, dan memberi inspirasi. Bukan tempat gelap rasa hotel melati.
Kami merasakan hal yang berbeda dari pelabuhan yang mati ini. keheningan yang tercipta membawa ketenangan bagi kami. Terlepas dari stigma negatif pelabuhan timur, saya, Ndol dan Roy begitu damai melewati malam di tempat ini (tentunya setelah mencari tongkrongan yang pas di pelabuhan itu).
Setelah hening beberapa saat menikmati suasana pelabuhan, sayup Roy bersuara. “lain waktu, kalau aku punya pacar. Aku bawa pacarku kesini”
“kenapa mau dibawa kesini, Roy?”
“rahasia!” tawa pun pecah diantara kami bertiga.