Judul: Amba
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Penerbit: PT Grameda pustaka
Utama
Membaca Amba sama dengan menggali
ingatan pada peristiwa kelam yang pernah menimpa bangsa ini. Tahun ’65, tahun
berdarah. Tuduhan serta streotip yang berkembang sesudahnya memang menjadi isu yang
selalu hangat untuk dibahas bersama.
Selain dari kebenaran siapa yang
salah dan siapa yang benar, kehidupan pihak yang menjadi korban dari peristiwa
itu meninggalkan luka sendiri pada wajah kemanusiaan. Ribuan orang yang
dianggap ‘merah’ mesti habis dibantai atau jauh terasing dengan siksa yang tak
berujung. Merah setelah peristiwa kelam itu menjadi warna yang dihindari,
ditakuti, dan dikutuk tiada habisnya.
Novel ini dibuka dengan peristiwa
penikaman Amba, sang tokoh utama, oleh Mukaburung, penduduk asli Pulau Buru
pada tahun 2006. Peristiwa yang berkaitan dengan tujuan Amba datang ke pulau
pengasingan itu. Peristiwa yang terjadi di makam seorang dokter yang digelari
Resi dari Waepo, Bhima.
Bhisma dan Amba, nama yang selalu
berkaitan dalam kitab-kitab dan lakon pewayangan hadir dalam bentuk lain di
dunia yang sebenarnya. Pun juga Salwa, tokoh yang dikisahkan dalam Mahabarata
harus merelakan Amba setelah dikalahkan Bishma itu menjadi Salwa yang lain
namun nyaris serupa dalam novel ini.
Cinta, rindu, pengkhianatan dan
dendam melebur dalam tiga tokoh tersebut. Tiga tokoh yang senantiasa terikat,
sebagaimana yang tertulis dalam Mahabarata. Tiga tokoh yang dalam novel ini
harus terjebak dalam kisah cinta yang merah di masa-masa yang penuh darah.
Dimana konflik dan politik meminta darah untuk membangun peradaban barunya,
kekuasaan barunya.
Dibeberapa bagian novel ini mengulas
deangan cukup dalam jalannya politik dan peristiwa-peristiwa yang mengekor.
Sebut saja pertarungan ideologi sosialis dengan nasionalis. PKI dengan PNI dan
NU. Pemuda Rakyat dan CGMNI dengan Anshor dan kalangan santri. Serta sengketa
antara pihak-pihak lainnya.
Demikian juga latar konflik yang
banyak diulas melalui tokoh Samuel dalam novel ini terbilang cukup kompleks.
Kita dapat menemukan gambaran dari kepingan-kepingan konflik SARA yang sempat
terjadi di Maluku. Perang saudara yang bermula dari hal kecil dan menjalar
menjadi perpecahan yang mengerikan. Sebuah peristiwa yang menentukan nyawa
seseorang hanya berdasarkan sebutan; obed atau aceng.
Dalam novel ini, sering kali Amba
mengatakan “sedikit banyak aku mengerti tentang tanggung jawab, tetapi jangan
tanyakan padaku tentang politik,”. Sebuah kalimat yang menjadi antitesa dari
keriuhan konflik dari bengisnya politik. Amba digambarkan sebagai sosok wanita
yang tenang, tegas, dan senang akan hal-hal baru namun tak mau pusing dengan
siasat-siasat orang mengenai politik. Dalam novel ini dia juga digambarkan
sebagai wanita yang dengan tegas mendobrak nilai-nilai feodal yang mengungkung
hak-hak kaum wanita.
Amba digambarkan berbeda dengan
wanita-wanita dimasanya, pun juga dengan kedua adik kembarnya, Ambika dan
Ambalika. Seperti tokoh Tuti dan Maria dalam Layar Terkembang karya St. Takdir Alisyahbana. Dimana Ambika
senantiasa nyaris bertolak belakang dengan kakaknya baik dalam sikap dan
pandangan mengenai hati, cinta dan lelaki. Meski pada akhirnya Amba juga
merasakan apa yang dirasa adiknya itu, suatu perasaan yang sempat ditentangnya
mengenai cinta.
Novel ini sedikit banyak juga
mengulas streotip-streotip umum yang berkembang mengenai beberapa suku. Sebut
saja suku jawa yang lebih sering digambarkan perasa dan suka tidak enak hati.
Sebuah sikap yang melekat pada karakter Salwa.
Sebuah novel yang penuh dengan
debaran dan aroma akan kenangan memilukan disusun begitu baik oleh Laksmi
Pamuntjak. Novel yang dipenuhi beragam persoalan dan gambaran konflik yang
terjadi pada masa yang telah lewat. Bisa dibilang, novel ini adalah cermin dan
alat intropeksi bagi diri dan bangsa ini. Recomended!
0 Comments